Sabtu, 18 Desember 2010

Sejarah Syekh Bahauddin Naqsyabandi

Syekh Muhammad Bahauddin An Naqsabandiy Ra. Adalah seorang Wali Qutub yang masyhur hidup pada tahun 717-791 H di desa Qoshrul ‘Arifan,Bukhara, Rusia. Beliau adalah pendiri Thoriqoh Naqsyabandiyah sebuahthoriqoh yang sangat terkenal dengan pengikut sampai jutaan jama’ah dantersebar sampai ke Indonesia hingga saat ini.

Nama lengkap beliau adalah Syaikh Bahauddin Muhammad bin Muhammad binMuhammad Asy Syarif Al Husaini Al Hasani Al Uwaisi Al Bukhari QS (Syech Naqsyabandy) Dilahirkan di Qashrul ‘Arifan, Bukhara, Uzbekistan tanggal15 Muharram tahun tahun 717 H atau tahun 1317 M. Syekh Naqsyabandi lahir dari lingkungan keluarga sosial yang baik dan kelahirannya disertai oleh kejadian yang aneh. Menurut satu riwayat, jauh sebelumtiba waktu kelahirannya sudah ada tanda- tanda aneh yaitu bau harumsemerbak di desa kelahirannya itu. Bau harum itu tercium ketika rombongan Syekh Muhammad Baba As Samasi q.s. (silsilah ke- 13), seorangwali besar dari Sammas (sekitar 4 km dari Bukharah), bersama pengikutnya melewati desa tersebut. Ketika itu As Samasi berkata

Sabtu, 11 Desember 2010

Manaqib KH. Abdul Hamid Pasuruan

Semua Orang Merasa Paling Disayang
KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah.Wafat 25 Desember 1985.
Pendidikan: Pesantren Talangsari, ]ember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian: pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan ANGIN bergerak perlahan. Hening. Jam menunjuk pukul 01.00 lebih. Warga Pesantren Salafiyah, Pasuruan, dan sekitarnya lelap tidur nyenyak.
Krosak! Tiba-tiba suara daun terlanggar batu menyeruak keheningan. Sejurus kemudian terdengar lagi suara itu yang kedua dan ketiga kali. "Faisal, hari sudah malam. Waktunya tidur," terdengar teguran halus dari arah belakang pelempar batu itu. Faisal (bukan nama sebenarnya), santri Salafiyah yang terkenal badung itu tidak menyahut. Ia yakin, itu suara anak santri lain yang ingin menggodanya, dengan meniru suara Kiai Hamid.
Faisal memungut batu lagi dan melempar pohon mangga di depan rumah pengasuh pesantrennya itu. "Faisal, hari sudah malam, waktunya tidur," terdengar suara lembut lagi dari arah belakang anak yang suka melucu itu. Begitu lembut, selembut semilir angin tengah malam. "Sudahlah, kau tak usah usil. Aku tahu siapa kau," sergah Faisal sambil melempar lagi. Lagi-lagi lemparannya luput. Ia semakin tidak sabaran melihat buah mangga yang ranum itu.
"Faisal, hari sudah malam. Ayo tidur, tidur." Suara itu masih halus, tanpa emosi. "Kurang ajar," umpat Faisal. Kesabarannya sudah habis. Ini keterlaluan, pikirnya. Dengan geram, ia menghampiri arah datangnya suara tersebut. Entah apa yang ingin dilakukannya terhadap orang yang dianggapnya meniru seperti Kiai Hamid itu. Ia tidak dapat segera mengenali, siapa santri yang berlagak seperti Kiai Hamid di depan rumah kiai yang sangat disegani itu. Maklum, semua lampu di teras rumah itu sudah dipadamkan sejak pukul 21.00. Mendadak mukanya pucat ketika jarak dengan orang tersebut tinggal 1-2 meter.
Tubuhnya bergetar demi mengetahui orang yang telah diumpatinya tadi benar benar Kiai Hamid. Faisal pun menunduk segan. "Sudah malam, ya. Sekarang waktunya tidur," ujar Kiai, Hamid, masih tetap lembut, namun penuh wibawa. "Inggih (iya)," jawab Faisal pendek, sambil ngeloyor pergi ke kamarnya. Faisal bukan satu-satunya santri yang suka mencuri mangga milik kiai.
Cerita seperti itu sudah menjadi semacam model khas kenakalan santri di pesantren. Faisal juga bukan satu-satunya anak santri Salafiyah yang merasakan kesabaran Kiai Hamid. Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda.
"Kiai Hamid dulu sangat keras," kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan.
Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur.
Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro'is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar.
Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar.
"Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah," katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata.
Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur.
Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma'shum, mantan Ro'is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja'far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf.
Menjadi Blantik
Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu'man, H. Nasikh dan H. Idris.
Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik (broker) sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan.
Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut (tidak mau akur). Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu.
Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun.
Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. "Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate (Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya)", katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan.
Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas.
Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain.
Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, "Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri," jelasnya.
Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu - misainya alat (gramatika bahasa Arab) atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik.
Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum.
Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu.
Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya 'Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah.
Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. "Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu," katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu.
Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi (tirakat). Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. "O, rupanya dia suka kulit roti," pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. "Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat," ujarnya.
Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur (menyenangkan orang lain) seperti dianjurkan Nabi.
Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun.
Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran (yang dipahami secara sederhana) mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu'afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis - meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya.
Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang "egoistis", dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas.
Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya.
H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. 10.000 plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri.
Tetapi, ia juga sibuk membaginya kembali kepada handai tolan dan tetangga terdekat. Menurut H. Misykat, jumlah hadiah - berupa beras dan sarung - untuk tetangga dekat setiap tahun tergantung yang dipunyainya dari pemberian orang lain. Tapi yang pasti, jumlahnya tak pernah kurang dari 313 buah. Ini adalah jumlah para pengikut perang Badr (pecah di bulan Ramadhan antara Nabi dan orang Kafir). Penelusuran lebih jauh akan menyimpulkan, perhatian terhadap orang lain merupakan ciri dari sikap sosialnya yang kuat.
Bahwa semua tindakannya itu tumbuh dari sikap penuh perhatian yang tinggi terhadap orang lain. Sehingga, kata H. M. Hadi, bekas santri dan adik iparnya, "Semua orang merasa paling disayang oleh Kiai Hamid." Setiap pagi, mulai pukul 03.00, ia suka berjalan kaki berkeliling ke Mushalla-mushalla hingga sejauh 1-2 km. untuk membangunkan orang-orang - biasanya anak-anak muda - yang tidur di tempat-tempat ibadah itu. Di samping itu, beberapa rumah tak luput dari perhatiannya sehingga membuat tuan rumah tergopoh-gopoh demi mengetahui bahwa orang yang mengetuk pintu menjelang subuh itu adalah Kiai Hamid yang sangat diseganinya. Sikapnya yang kebapakan itulah yang membuat semua orang mengenalnya secara dekat merasa kehilangan ketika ia wafat.
Ia selalu dengan penuh perhatian mendengarkan keluhan dan masalah orang lain, dan terkadang melalui perlambang-perlambang, memberi pemecahan terhadapnya. Tak cuma itu. Ia sering memaksa orang untuk bercerita mengenai yang menjadi masalahnya. "Ceritakan kepada saya apa yang membuatmu gundah," desaknya kepada H. A. Shobih Ubaid, meski telah berkali-kali mengatakan tidak ada apa-apa. Dan, akhirnya setelah dibimbing ke kamar di rumahnya, Shobih dengan menangis menceritakan masalah keluarga yang selama ini mengganjal di hatinya.
Di saat lain, orang lain terpaksa bercerita bahwa ia masih kekurangan uang menghadapi perkawinan anaknya, setelah didesak oleh Kiai Hamid. Kiai Hamid lalu memberinya uang Rp 200.000. Pemberian uang untuk maksud-maksud baik ini memang sudah bukan rahasia lagi. Selain sering dihajikan orang lain, sudah puluhan pula orang yang telah naik haji atas biayanya, baik penuh maupun sebagiannya saja.
Lebih dari itu, tak kurang 300 masjid yang telah berdiri atau direnovasi atas prakarsa serta topangan biayanya. Menurut H. Misykat, kegiatan seperti ini kian menggebu menjelang ia wafat. Ia memprakarsai renovasi terhadap beberapa mushalla di dekat rumahnya yang selama ini tak pernah terjamah perbaikan. Untuk itu, di samping mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri, ia memberi wewenang kepada masing-masing panitia untuk mempergunakan namanya dalam mencari sumbangan.
Kepeloporan, kebapakan dan sikap sosialnya yang dicirikan dengan komitmen Idkhalus surur dan kepedulian sosial dalam bentuknva yang sederhana dengan corak religius yang kuat merupakan watak kepemimpinannya. Tapi, lebih dari itu, kepemimpinan yang tidak menonjolkan diri, dan dalam banyak hal, bahkan berusaha menyembunyikan diri, ternyata cukup efektif dalam kasus Kiai Hamid. Kiai Hamid yang suaranya begitu lirih itu tidak pernah berpidato di depan umum: Tapi di situlah, khususnya untuk masyarakat Pasuruan dan sebagian besar Jawa Timur yang sudah terlanjur mengaguminya itu, terletak kekuatan Kiai Hamid.
Konon, kepemimpinan Kiai Hamid sudah mulai tampak selama menuntut ilmu di Pesantren Termas. Ia sudah berganti nama sebanyak dua kali. Ia lahir dengan nama Mu'thi, lalu berganti dengan nama Abdul Hamid setelah haji yang pertama. Kemudian, tanpa sengaja, mertuanya, KH Ahmad Qusyairi, memanggilnya dengan Hamid saja. "Nama saya memang Hamid saja, Bah (Ayah)," katanya, seperti tidak ingin mengecewakan mertuanya itu. Diantara karyanya, antara lain, Nadzam Sulam Taufiq, yaitu menyairkan kitab terkenal di pondok pesantren, Sulam Taufiq. Sebuah kitab yang berisi akidah, syari'ah, akhlaq dan tasawuf. Sedangkan Thariqah beliau adalah Syadziliyah. Menurut beberapa sumber ada yang mengatakan mengambil thariqah dari KH. Mustaqiem Husein, ada sumber lain menyebutkan dari Syeikh Abdurrazaq Termas.
sumber:http://www.sufinews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=219:kh-abdul-hamid-&catid=77:tokoh-sufi&Itemid=291

Selasa, 28 September 2010

Uwais AlQarni: Terkenal Di Langit Tak Terkenal di Bumi


Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata biru,
rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan,
kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada
tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli
membaca Al Qur’an dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut
yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan,
tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan
tetapi sangat terkenal di langit.
Dia, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Pada hari kiamat nanti
ketika semua ahli ibadah dipanggil disuruh masuk surga, dia justru
dipanggil agar berhenti dahulu dan disuruh memberi syafa’at, ternyata
Allah memberi izin dia untuk memberi syafa’at sejumlah qobilah Robi’ah
dan qobilah Mudhor, semua dimasukkan surga tak ada yang ketinggalan
karenanya. Dia adalah “Uwais al-Qarni”. Ia tak dikenal banyak orang
dan juga miskin, banyak orang suka menertawakan, mengolok-olok, dan
menuduhnya sebagai tukang membujuk, tukang mencuri serta berbagai
macam umpatan dan penghinaan lainnya.
Seorang fuqoha’ negeri Kuffah, karena ingin duduk dengannya,
memberinya hadiah dua helai pakaian, tapi tak berhasil dengan baik,
karena hadiah pakaian tadi diterima lalu dikembalikan lagi olehnya
seraya berkata : “Aku khawatir, nanti sebagian orang menuduh aku, dari
mana kamu dapatkan pakaian itu, kalau tidak dari membujuk pasti dari
mencuri”.
Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili
kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya
penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya
sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang
diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama
Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya
yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya.
Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh
dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan
puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya.
Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar
seruan Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk
menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya.
Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur.
Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati
Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera
memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya
kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke
Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung.
Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan
cara kehidupan Islam.
Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru
datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan
kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum.
Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk
bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang
cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu
yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya.
Di ceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera
dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini
akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu
hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada
beliau SAW, sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan
musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk
bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya
dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah
beliau dari dekat ? Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat
membutuhkan perawatannya dan tak tega ditingalkan sendiri, hatinya
selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa.
Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi
hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi
menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa
terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memaklumi perasaan
Uwais, dan berkata : “Pergilah wahai anakku ! temuilah Nabi di
rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”.
Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa
menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan
kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.
Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju
Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman.
Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir,
bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan
begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari,
semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras
baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya. Tibalah Uwais al-Qarni
di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu
rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina ‘Aisyah
r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi
yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada di
rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang
perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada
di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan
Nabi SAW dari medan perang. Tapi, kapankah beliau pulang ? Sedangkan
masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan
sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,” Engkau harus lekas
pulang”. Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah
mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa
dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada
sayyidatina ‘Aisyah r.a. untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya
menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan
perasaan haru.
Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang
kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa
Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni
langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda
Rosulullah SAW, sayyidatina ‘Aisyah r.a. dan para sahabatnya tertegun.
Menurut informasi sayyidatina ‘Aisyah r.a., memang benar ada yang
mencari Nabi SAW dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya
sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan
ibunya terlalu lama. Rosulullah SAW bersabda : “Kalau kalian ingin
berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai
tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau
SAW, memandang kepada sayyidina Ali k.w. dan sayyidina Umar r.a. dan
bersabda : “Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah
do’a dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni
bumi”.
Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi SAW wafat, hingga
kekhalifahan sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. telah di estafetkan
Khalifah Umar r.a. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda
Nabi SAW. tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera
mengingatkan kepada sayyidina Ali k.w. untuk mencarinya bersama. Sejak
itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu
menanyakan tentang Uwais al-Qorni, apakah ia turut bersama mereka.
Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya
yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan
kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan
mereka.
Suatu ketika, Uwais al-Qorni turut bersama rombongan kafilah menuju
kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman,
segera khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. mendatangi mereka dan
menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan
bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di
perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi
menemui Uwais al-Qorni. Sesampainya di kemah tempat Uwais berada,
Khalifah Umar r.a. dan sayyidina Ali k.w. memberi salam. Namun rupanya
Uwais sedang melaksanakan sholat. Setelah mengakhiri shalatnya, Uwais
menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu
berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk
membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais,
sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi SAW. Memang benar !
Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut,
siapakah nama saudara ? “Abdullah”, jawab Uwais. Mendengar jawaban
itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan : “Kami juga Abdullah,
yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ?” Uwais
kemudian berkata: “Nama saya Uwais al-Qorni”. Dalam pembicaraan
mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah
sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat
itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali k.w. memohon agar Uwais berkenan
mendo’akan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah:
“Sayalah yang harus meminta do’a kepada kalian”. Mendengar perkataan
Uwais, Khalifah berkata: “Kami datang ke sini untuk mohon do’a dan
istighfar dari anda”. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qorni
akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdo’a dan membacakan istighfar.
Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk menyumbangkan uang
negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera
saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata : “Hamba mohon supaya
hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya,
biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi”.
Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar
beritanya. Tapi ada seorang lelaki pernah bertemu dan di tolong oleh
Uwais , waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab
bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus
dengan kencang. Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami
sehingga air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin
berat. Pada saat itu, kami melihat seorang laki-laki yang mengenakan
selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami
memanggilnya. Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan sholat di
atas air. Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu. “Wahai
waliyullah,” Tolonglah kami !” tetapi lelaki itu tidak menoleh. Lalu
kami berseru lagi,” Demi Zat yang telah memberimu kekuatan beribadah,
tolonglah kami!”Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata: “Apa yang
terjadi ?” “Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan
dihantam ombak ?”tanya kami. “Dekatkanlah diri kalian pada Allah !
“katanya. “Kami telah melakukannya.” “Keluarlah kalian dari kapal
dengan membaca bismillahirrohmaanirrohiim!” Kami pun keluar dari kapal
satu persatu dan berkumpul di dekat itu. Pada saat itu jumlah kami
lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam,
sedangkan perahu kami berikut isinya tenggelam ke dasar laut. Lalu
orang itu berkata pada kami ,”Tak apalah harta kalian menjadi korban
asalkan kalian semua selamat”. “Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah
nama Tuan ? “Tanya kami. “Uwais al-Qorni”. Jawabnya dengan singkat.
Kemudian kami berkata lagi kepadanya, “Sesungguhnya harta yang ada di
kapal tersebut adalah milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim
oleh orang Mesir.” “Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah
kalian akan membagi-bagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?”
tanyanya.”Ya,”jawab kami. Orang itu pun melaksanakan sholat dua rakaat
di atas air, lalu berdo’a. Setelah Uwais al-Qorni mengucap salam,
tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menumpanginya
dan meneruskan perjalanan. Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan
seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang
tertinggal.
Beberapa waktu kemudian, tersiar kabar kalau Uwais al-Qorni telah
pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan
tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan
ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada
orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika
orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada
orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan
dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan
untuk mengusungnya. Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan,
“ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari
mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat
penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah
tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah
orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qorni pada masa
pemerintahan sayyidina Umar r.a.)
Meninggalnya Uwais al-Qorni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman.
Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya
orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan
pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan
orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan
ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap
melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang.
Mereka saling bertanya-tanya : “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais
al-Qorni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang
tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba
dan unta ? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan
penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah
kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya
mereka adalah para malaikat yang di turunkan ke bumi, hanya untuk
mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman
mengetahuinya siapa “Uwais al-Qorni” ternyata ia tak terkenal di bumi
tapi terkenal di langit.

Selasa, 08 Juni 2010

Kiai HM Kholil : Punya Peninggalan Kolam, Airnya Buat Awet Muda

Tergetar hati bila menginjakkan kaki di pelataran pasareaan ulama besar Kiai Haji Moh Kholil yang terletak di kampung Martajasah, Kelurahan Mlajah, Bangkalan, Madura. Ternyata makam itu tidak pernah sepi peziarah. Setiap saat menggema doa dan tahlil dari sebuah cungkup kecil yang letaknya berdekatan dengan masjid tua. Iramanya sakral memecah keheningan malam, menghiasi suasana penuh makna dan pesona gaib. tapi niat setiap peziarah ternyata berlainan. Ada yang ingin kaya dan saleh seperti kiai, naik pangkat, dekat jodoh atau ingin jabatan baru. Jangan salah tafsir di pesarean ini para peziarah tidak minta kepada kuburan atau makam Kiai, tetapi mereka dengan khusuk membaca melafalkan ayat-ayat suci Alquran sambil berdoa kepada Tuhan YME memohon petunjuk dan hidayah-Nya. “Ziarah di makam Kiai Moh Kholil ingin meneladani apa yang telah dilakukan Kiai semasa hidupnya,” ungkap salah seorang peziarah asal Cirebon yang tidak mau disebut namanya. Makamnya sendiri berada di dalam cungkup dibungkus kain kafan putih. Letak cungkup berdekatan dengan bangunan masjid kecil.
Kiai Moh Kholil adalah salah seorang ulama besar dari ‘Pulau Garam’. Tak sedikit yang menganggap sebagai ‘Wali Allah’. Sebab semasa hidupnya beliau melakoni hidup suci lahir dan batin. Tujuan hidupnya hanyalah untuk berbakti kepada Tuhan YME sehingga beliau kondang sebagai mubaligh ulung dan konsekuen. Berkembangnya agama Islam di tanah air merupakan salah satu cita-cita beliau.
Tidak mengherankan para santrinya berhasil menjadi tokoh-tokoh Islam yang sebagian besar mempunyai pondok pesantren baik di Jawa, Madura maupun Sumatera. Antara lain KH Hasyim Asyari pendiri NU dan pondok Tebu Ireng Jombang dan KH Bisri Mustofa pendiri pesantren Rembang. Itulah sebabnya baik siang maupun malam pesarean itu terus dimuliakan dengan banyaknya peziarah dari berbagai daerah. Bahkan pernah kedatangan tamu dari Brunei Darussalam dan Malaysia.
Menurut catatan petugas di kompleks pesarean, pengunjung setiap hari rata-rata 400-700 orang. Bila bertepatan dengan hari besar Islam, pengunjung bisa mencapai dua kali lipat. Pada bulan Ramadan, pengunjung setiap hari bisa mencapai 1.000 orang. “Bahkan ada peziarah tirakat sebulan penuh dalam bulan puasa itu,” tambah jurukunci makam H Syamsul.
Keinginan peziarah antara lain naik pangkat, lancar rezeki dan dekat jodoh. “Tapi umumnya, ingin hidup sejahtera sampai anak cucu,” katanya.
Kurang lebih dua kilometer dari pesarean KH Moh Kholil, berada di desa Kramat, kecamatan Bangkalan, terdapat sebuah belik ukuran 9 x 4 meter yang dikeramatkan penduduk. Airnya tidak pernah habis, meski saat kemarau. Menurut kepercayaan, air dari belik Langgundi bisa untuk mengobati segala macam penyakit. Khasiatnya tak bisa dipisahkan dengan nama besar KH Moh Kholil.
Menurut cerita para sesepuh, dahulu di kabupaten Bangkalan ada seorang ulama besar KH Moh Kholil bin Abdul Latif yang dipercaya masyarakat setempat sebagai Wali Allah. Beliau mendirikan Pondok Pesantren Kepang yang santrinya terdiri dari warga berasal dari berbagai daerah di tanah air. Beliau mempunyai tempat untuk mandi dan sesuci (wudlu) khusus yang disebut kolam Langgundi.
Kala itu tidak ada seorang pun, baik santri maupun umum yang diperkenankan mandi atau sesuci di tempat itu. Ketika wafat, KH Moh Kholil kemudian dimakamkan di desa Martajasah dekat kolam Langgundi.
Sejak saat itulah semua santri dan peziarah diperbolehkan mandi dan sesuci di tempat itu. Mandi dan sesuci di kolam Langgundi adalah meneruskan kebiasaan Kiai. Kebetulan ada seorang santri yang mengidap penyakit kulit dan panas badan.
Begitu mandi, ternyata sembuh total. Begitu berita itu tersiar, maka semua santri dan penduduk yang mempunyai penyakit kudis, rabun mata dan lain sebagainya lalu mencoba khasiat air kolam Langgundi. Dan terbukti sembuh total.
Hingga sekarang para peziarah yang datang pasti melakukan mandi, sesuci atau membasuh muka. Bahkan ada yang membawa pulang air kolam untuk pengobatan di rumah. Kini lingkungan kolam sudah ditata apik, sehingga nyaman dipakai mandi. Selain untuk pengobatan, air kolam Langgundi juga berkhasiat membuat awet muda

sumber:http://www.indospiritual.com/artikel_kiai-hm-kholil---punya-peninggalan-kolam--airnya-buat-awet-muda.html

perjalanan sunan ampel

Prabu Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu risau memikirkan pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal cerita pahit. Perang saudara berkecamuk di mana-mana. Panggung judi, main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi ”kesibukan” harian kaum bangsawan –pun rakyat kebanyakan.
Melihat beban berat suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk. ”Saya punya keponakan yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti,” kata permaisuri yang juga putri Raja Campa itu. ”Namanya Sayyid Ali Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,” Darawati menambahkan. Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali Rahmatullah ke Campa –kini wilayah Kamboja.
Ali Rahmatullah inilah yang kelak lebih dikenal sebagai Sunan Ampel. Cucu Raja Campa itu adalah putra kedua pasangan Syekh Ibrahim Asmarakandi dan Dewi Candrawulan. Ayahnya, Syekh Ibrahim, adalah seorang ulama asal Samarkand, Asia Tengah. Kawasan ini melahirkan beberapa ulama besar, antara lain perawi hadis Imam Bukhari.
Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Campa. Ia kemudian diangkat sebagai menantu. Sejumlah sumber sejarah mencatat silsilah Ibrahim dan Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad lewat jalur Imam Husein bin Ali. Tarikh Auliya karya KH Bisri Mustofa mencantumkan nama Rahmatullah sebagai keturunan Nabi ke-23.
Ia diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika berada di Palembang, pada 1440, sebuah sumber sejarah menyebutnya berusia 20 tahun. Soalnya, para sejarawan lebih banyak mendiskusikan tahun kedatangan Rahmatullah di Pulau Jawa. Petualang Portugis, Tome Pires, menduga kedatangan itu pada 1443.
Hikayat Hasanuddin memperkirakannya pada sebelum 1446 –tahun kejatuhan Campa ke tangan Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke Jawa, Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada Raja Palembang, Arya Damar, pada 1440. Perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam lawatan ke Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan sahabatnya (Abu Hurairah).
Rombongan mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah beberapa lama, sampai Syekh Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Sisa rombongan melanjutkan perjalanan ke Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap Kertawijaya. Di sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit.
Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300 keluarga diserahkan untuk dididik dan mendirikan permukiman di Ampel. Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban.
Sejak itu, gelar pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden Rahmat diperlakukan sebagai keluarga keraton Majapahit. Ia pun makin disegani masyarakat. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus melakukan dakwah.
Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat. Pengikutnya pun bertambah banyak. Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat membangun langgar (musala) sederhana di Kembang Kuning, delapan kilometer dari Ampel.
Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang –dan diberi nama Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah pertama Raden Rahmat adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan dakwah. Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal masyarakat Jawa.
Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata ‘’salat” diganti dengan ‘’sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai musala, tapi ”langgar”, mirip kata sanggar. Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari shastri –orang yang tahu buku suci agama Hindu.
Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat. Meski menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa saja. Dengan cara pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan luas. Dari sinilah sebutan ”Sunan Ampel” mulai populer.
Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ”Moh Limo”. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela. Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe (tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau mengisap candu), dan moh madon (tidak mau berzina). Falsafah ini sejalan dengan problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra dan santrinya, ada yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, menurut satu versi, Sunan Ampel dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim).
Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah, yang kelak menjadi sultan pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua muridnya yang juga wali. Yakni Dewi Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang dinikahkan dengan Sunan Kalijaga.
Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang juga para wali. Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pernah menawarkan untuk mengislamkan adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan Ampel menolak halus.
”Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?” kata Sunan Ampel. ”Nanti bisa bidah, dan Islam tak murni lagi.” Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat. Sementara Sunan Kudus dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. Sunan Kudus membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama sekali tidak.
Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa dijadikan sumber hukum Islam atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu tidak mengganggu silaturahmi antarpara wali. Sunan Ampel memang dikenal bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana Malik Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti (juru fatwa) se-tanah Jawa.
Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan Wali Songo, sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah kemelut politik Majapahit. Namun, mengenai tanggal wafatnya, tak ada bukti sejarah yang pasti. Sumber-sumber tradisional memberi titimangsa yang berbeda.
Babad Gresik menyebutkan tahun 1481, dengan candrasengkalaNgulama Ampel Seda Masjid”. Cerita tutur menyebutkan, beliau wafat saat sujud di masjid. Serat Kanda edisi Brandes menyatakan tahun 1406. Sumber lain menunjuk tahun 1478, setahun setelah berdirinya Masjid Demak. Ia dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, di areal seluas 1.000 meter persegi, bersama ratusan santrinya.
Kompleks makam tersebut dikelilingi tembok besar setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel bersama istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64 meter persegi. Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi pasir putih. Setiap hari, penziarah ke makam Sunan Ampel rata-rata 1.000 orang, dari berbagai pelosok Tanah Air.
Jumlahnya bertambah pada acara ritual tertentu, seperti saat Haul Agung Sunan Ampel ke-552, awal November lalu. Pengunjungnya membludak sampai 10.000 orang. Kalau makam Maulana Malik Ibrahim sepi penziarah di bulan Ramadhan, makam Sunan Ampel justru makin ramai 24 jam pada bulan puasa.

Perjalan Sunan Bonang



Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur’an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe
MENURUT tembang ini, ada lima macam ”penawar hati”, atau pengobat jiwa yang ‘’sakit”. Yakni membaca Al-Quran, mengerjakan salat tahajud, bersahabat dengan orang saleh, berzikir, dan hidup prihatin. Inilah pula yang sering dilantunkan Emha Ainun Nadjib bersama Kelompok Kyai Kanjeng, dalam sejumlah pergelarannya.
Di luar acara Emha, Tamba Ati hingga kini masih kerap dinyanyikan sejumlah santri di pesantren dan masjid di sejumlah desa. Tapi Cak Nun –demikian Emha biasa disapa– bukan pencipta ”lagu” itu. Tembang ini adalah peninggalan Raden Maulana Makdum Ibrahim, yang lebih dikenal sebagai Sunan Bonang.
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang menyanyikan Tamba Ati untuk menarik warga masyarakat agar memeluk Islam. Pada saat berdendang, pria yang diduga berusia 60 tahun itu menabuh gamelan dari kuningan, yang dibuat oleh sejumlah warga Desa Bonang, Jawa Timur. Nama desa inilah yang kemudian melekat pada gelar sang Sunan.
Meski terampil, Sunan Bonang bukan putra penabuh gamelan. Ia justru putra Sunan Ampel, yang menikah dengan Condrowati, alias Nyai Ageng Manila. Nyai Ageng merupakan anak angkat Ario Tedjo, Bupati Tuban. Tidak ada catatan mengenai tanggal kelahiran Raden Makdum. Diduga, ia lahir di daerah Bonang, Tuban, pada 1465.
Sunan Ampel semula memberi ia nama Maulana Makdum. Nama ini diambil dari bahasa Hindi, yang bermakna cendekiawan Islam yang dihormati karena kedudukannya dalam agama. Semasa kecil, Sunan Bonang sudah mendapat pelajaran dari ayahnya, Sunan Ampel, dengan disiplin yang ketat. Tak heran jika dia pun, kemudian, terhisab ke dalam Wali nan Sembilan.
Sunan Ampel kemudian mengirim Sunan Bonang ke Negeri Pasai, Aceh masa kini. Di sana Sunan Bonang menuntut ilmu pada Syekh Awwalul Islam, ayah kandung Raden Paku alias Sunan Giri. Bersama Raden Paku, ia juga belajar pada sejumlah ulama besar yang banyak menetap dan mengajar di Pasai, seperti ulama ahli tasawuf dari Baghdad, Mesir, dan Iran.
Pulang dari menuntut ilmu, Sunan Bonang diminta Sunan Ampel berdakwah di Tuban, Pati, Pulau Madura, dan Pulau Bawean di utara Pulau Jawa. Seperti halnya Raden Paku alias Sunan Giri, yang mendirikan pesantren di Gresik, Sunan Bonang juga mendirikan pesantren di Tuban.
Dalam berdakwah, Sunan Bonang kerap menggunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati masyarakat, antara lain dengan seperangkat gamelan Bonang. Bila dipukul dengan kayu lunak, bonang itu melantunkan bunyi yang merdu. Bila Sunan Bonang sendiri yang menabuhnya, gaung sang bonang sangat menyentuh hati para pendengarnya.
Masyarakat yang mendengarnya berbondong-bondong datang ke masjid. Sunan Bonang lalu menerjemahkan makna tembangnya. Karena kekuatan suaranya itu pula, Sunan Bonang juga mendapat julukan lain: Sang Mahamuni. Tembang itu berisi ajaran Islam, sehingga tanpa sengaja mereka telah diberi penghayatan baru.
Pada masa itu, daerah Bonang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, yang mayoritas –dan ”resmi”– beragama Hindu. Kebetulan, para penganut Hindu ketika itu sangat akrab dengan musik gamelan. Pengaruh gendingnya cukup melegenda. Bahkan gamelan itu telah menjadi bagian dari cerita kesaktian Sunan Bonang.
Misalnya dikisahkan, ia pernah menaklukkan Kebondanu, seorang pemimpin perampok, dan anak buahnya, hanya menggunakan tembang dan gending Dharma dan Mocopat. Begitu gending ditabuh, Kebondanu dan anak buahnya tidak mampu menggerakkan tubuhnya. ”Ampun… hentikan bunyi gamelan itu. Kami tak kuat,” begitu konon kata Kebondanu.
Setelah diminta bertobat, Kebondanu dan gerombolannya pun menjadi pengikut Sunan Bonang. Tapi, kesaktian Sunan Bonang tak hanya terletak pada gamelan dan gaungnya. Cerita lain mengisahkan seorang brahmana, yang berlayar dari India ke Tuban. Tujuannya: ingin mengadu kesaktian dengan Sunan Bonang.
Namun, sebelum mendarat di Tuban, kapalnya dihajar ombak. Akibatnya, kitab-kitab kesaktiannya hanyut terbawa air. Beruntung, sang brahmana berhasil mencapai pantai. Di tepian laut itu ia berjumpa dengan seorang pria berjubah putih. Kepada pria itu ia menyatakan ingin berjumpa dengan Sunan Bonang untuk uji kesaktian.
Tapi, demikian katanya, ia tak lagi mampu melakukannya, karena semua kitabnya sudah raib di telan ombak. Pria berjubah itu mencabut tongkatnya yang tertancap di pasir pantai. Air muncrat dari lobang bekas tongkat itu… bersama semua kitab sang brahmana. Setelah pria tadi menyebut namanya, yang tiada lain daripada Sunan Bonang, Brahmana itu berlutut.
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan Islam Demak, dan ikut membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh masyarakat Demak ketika itu, ia dikenal sebagai pemimpin bala tentara Demak. Dialah yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai panglima tentara Islam Demak.
Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat Sunan Kudus sebagai panglima perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi Majapahit. Selain itu, Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat keputusan yang memuaskan banyak orang, melalui sidang-sidang ”pengadilan” yang dipimpinnya.
Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang. Lokasi ”pengadilan” itu sendiri punya dua versi. Satu versi mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon. Tapi, versi lain menyebutkan, sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung Demak. Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan Raden Patah.
Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab, antara lain Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama: tasawuf, ussuludin, dan fikih.
Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan Bonang menjadi penting karena menunjukkan bagaimana orang Islam menjalani kehidupan dengan kesungguhan dan kecintaannya kepada Allah. Para penganut Islam harus menjalankan, misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat. Selain itu, manusia harus menjauhi tiga musuh utama: dunia, hawa nafsu, dan setan.
Untuk menghindari ketiga ”musuh” itu, manusia dianjurkan jangan banyak bicara, bersikap rendah hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi sikap dengki, sombong, serakah, serta gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning dan Schrieke, naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah Wali Songo yang relatif lebih lengkap.
Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tak begitu lengkap. Di situ disebutkan pula bahwa ajaran Sunan Bonang berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Malik Ibrahim, yang menurunkan ajaran kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.
Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan dimakamkan, ada perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga Bawean ingin Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka, karena sang Sunan sempat berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tetapi, warga Tuban tidak mau terima. Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke Bawean, ”mencuri” jenazah sang Sunan.
Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap ada, baik di Bonang maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi tembok berpintu gerbang.
sumber:http://sunatullah.com/wali-songo/sunan-bonang.html

Sunan Bonang dan Peranan Pemikiran Sufistiknya


Oleh: Dr Abdul Hadi WM
DI kalangan ulama tertentu mungkin peranan Sunan Bonang dianggap tidak begitu menonjol dibanding wali-wali Jawa yang lain. Tetapi apabila kita mencermati manuskrip-manuskrip Jawa lama peninggalan zaman Islam yang terdapat di Museum Leiden dan Museum Batavia (sekarang dipindah ke Perpustakaan Nasional), justru Sunan Bonang yang meninggalkan warisan karya tulis paling banyak, berisi pemikiran keagamaan dan budaya bercorak sufistik. Putra Raden Rahma alias Sunan Ampel, dan cucu Maulana Malik Ibrahim, yang nenek moyangnya berasal dari Samarkand ini, masih bersaudara dengan Sunan Giri, wali yang paling berpengaruh di Jawa Timur. Kedua bersaudara ini diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-15 M, pada saat Kerajaan Majapahit sedang di ambang keruntuhan. Sunan Bonang (nama sebenarnya Makhdum Ibrahim bergelar Khalifah Asmara) wafat sekitar tahun 1530 M di Tuban, tempat kegiatannya terakhir dan paling lama, pada masa jayanya Kerajaan Demak Darussalam.
Kedua wali itu dikenal sebagai pendakwah Islam yang gigih. Keduanya sama-sama belajar di Malaka dan Pasai, baru kemudian menunaikan ibadah haji di Mekah. Bedanya, jika Sunan Giri lebih condong pada ilmu fiqih, syariah, teologi, dan politik; Sunan Bonang –tanpa mengabaikan ilmu-ilmu Islam yang lain– lebih condong pada tasawuf dan kesusastraan. Sumber-sumber sejarah Jawa, termasuk suluk-suluknya sendiri menyatakan bahwa ia sangat aktif dalam kegiatan sastra, mistik, seni lakon, dan seni kriya. Dakwah melalui seni dan aktivitas budaya merupakan senjatanya yang ampuh untuk menarik penduduk Jawa memeluk agama Islam.
Sebagai musikus dan komponis terkemuka, konon Sunan Bonang menciptakan beberapa komposisi (gending), di antaranya Gending Dharma. Gending ini dicipta berdasarkan wawasan estetik sufi, yang memandang alunan bunyi musik tertentu dapat dijadikan sarana kenaikan menuju alam kerohanian. Gending Darma, konon, apabila didengar orang dapat menghanyutkan jiwa dan membawanya ke alam meditasi (tafakkur). Penabuhan gending ini pernah menggagalkan rencana perampokan gerombolan bandit di Surabaya. Manakala gending ini ditabuh oleh Sunan Bonang, para perampok itu terhanyut ke alam meditasi dan lupa akan rencananya melakukan perampokan. Keesokannya pemimpin bandit dan anak buahnya menghadap Sunan Bonang, dan menyatakan diri memeluk Islam.
Sunan Bonang bersama Sunan Kalijaga dan lain-lain, jelas bertanggung jawab bagi perubahan arah estetika Gamelan. Musik yang semula bercorak Hindu dan ditabuh berdasarkan wawasan estetik Sufi. Tidak mengherankan gamelan Jawa menjadi sangat kontemplatif dan meditatif, berbeda dengan gamelan Bali yang merupakan warisan musik Hindu. Warna sufistik gamelan Jawa ini lalu berpengaruh pada gamelan Sunda dan Madura.
Sunan Bonang juga menambahkan instrumen baru pada gamelan. Yaitu bonang (diambil dari gelarnya sebagai wali yang membuka pesantren pertama di Desa Bonang). Bonang adalah alat musik dari Campa, yang dibawa dari Campa sebagai hadiah perkawinan Prabu Brawijaya dengan Putri Campa, yang juga saudara sepupu Sunan Bonang. Instrumen lain yang ditambahkan pada gamelan ialah rebab, alat musik Arab yang memberi suasana syahdu dan harus apabila dibunyikan. Rebab, yang tidak ada pada gamelan Bali, sangat dominan dalam gamelan Jawa, bahkan didudukkan sebagai raja instrumen.
Sebagai Imam pertama Masjid Demak, Sunan Bonang bersama wali lain, terutama murid dan sahabat karibnya Sunan Kalijaga, sibuk memberi warna lokal pada upacara-upacara keagamaan Islam seperti Idul Fitri, perayaan Maulid Nabi, peringatan Tahun Baru Islam (1 Muharram atau 1 Asyura) dan lain-lain. Dengan memberi warna lokal maka upacara-upacara itu tidak asing dan akrab bagi masyarakat Jawa.
Syair Islam pun akan mulus dan ajaran Islam mudah diresapi.Toh, menurut Sunan Bonang, kebudayaan Islam tidak mesti kearab-araban. Menutupi aurat tidak mesti memakai baju Arab, tetapi cukup dengan memakai kebaya dan kerudung.
Di antara upacara keagamaan yang diberi bungkus budaya Jawa, yang sampai kini masih diselenggarakan ialah upacara Sekaten dan Grebeg Maulid. Beberapa lakon carangan pewayangan yang bernapas Islam juga digubah oleh Sunan Bonang bersama-sama Sunan Kalijaga.
Di antaranya Petruk Jadi Raja dan Layang Kalimasada.
Setelah berselisih paham dengan Sultan Demak I, yaitu Raden Patah, Sunan Bonang mengundurkan diri sebagai Imam Masjid Kerajaan. Ia pindah ke desa Bonang, dekat Lasem, sebuah desa yang kering kerontang dan miskin. Di sini ia mendirikan pesantren kecil, mendidik murid-muridnya dalam berbagai keterampilan di samping pengetahuan agama. Di sini pula Sunan Bonang banyak mendidik para mualaf menjadi pemeluk Islam yang teguh. Suluk-suluknya seperti Suluk Wujil, menyebutkan bahwa ia bukan saja mengajarkan ilmu fikih dan syariat serta teologi, melainkan juga kesenian, sastra, seni kriya, dan ilmu tasawuf. Tasawuf diajarkan kepada siswa-siswanya yang pandai, jadi tidak diajarkan kepada sembarangan murid.
Keahliannya di bidang geologi dipraktekkan dengan menggali banyak sumber air dan sumur untuk perbekalan air penduduk dan untuk irigasi pertanian lahan kering. Sunan Bonang juga mengajarkan cara membuat terasi, karena di Bonang banyak terdapat udang kecil untuk pembuatan terasi. Sampai kini terasi Bonang sangat terkenal, dan merupakan sumber penghasilan penduduk desa yang cukup penting.
Karya dan Ajaran
Karya Sunan Bonang, puisi dan prosa, cukup banyak. Di antaranya sebagaimana disebut B Schrieke (1913), Purbatjaraka (1938), Pigeaud (1967), Drewes (1954, 1968 dan 1978) ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Regok, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Ing Aewuh, Suluk Pipiringan, Suluk Jebeng dan lain-lain. Satu-satunya karangan prosanya yang dijumpai ialah Wejangan Seh Bari. Risalah tasawufnya yang ditulis dalam bentuk dialog antara guru tasawuf dan muridnya ini telah ditranskripsi, mula-mula oleh Schrieke dalam buku Het Boek van Bonang (1913) disertai pembahasan dan terjemahan dalam bahasa Belanda, kemudian disunting lagi oleh Drewes dan disertai terjemahan dalam bahasa Inggris yakni The Admonition of Seh Bari (1969).
Sedangkan Suluk Wujil ditranskripsi Purbatjaraka dengan pembahasan ringkas dalam tulisannya “Soeloek Woedjil: De Geheime leer van Soenan Bonang” (majalah Djawa no. 3-5, 1938). Melalui karya-karyanya itu kita dapat memetik beberapa ajarannya yang penting dan relevan. Seluruh ajaran Tasawuf Sunan Bonang, sebagai ajaran Sufi yang lain, berkenaan dengan metode intuitif atau jalan cinta (isyq) pemahaman terhadap ajaran Tauhid; arti mengenal diri yang berkenaan dengan ikhtiar pengendalian diri, jadi bertalian dengan masalah kecerdasan emosi; masalah kemauan murni dan lain-lain.
Cinta menurut pandangan Sunan Bonang ialah kecenderungan yang kuat kepada Yang Satu, yaitu Yang Mahaindah. Dalam pengertian ini seseorang yang mencintai tidak memberi tempat pada yang selain Dia. Ini terkandung dalam kalimah syahadah La ilaha illa Llah. Laba dari cinta seperti itu ialah pengenalan yang mendalam (makrifat) tentang Yang Satu dan perasaan haqqul yaqin (pasti) tentang kebenaran dan keberadaan-nya. Apabila sudah demikian, maka kita dengan segala gerak-gerik hati dan perbuatan kita, akan senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh-Nya. Kita menjadi ingat (eling) dan waspada.
Cinta merupakan, baik keadaan rohani (hal) maupun peringkat rohani (maqam). Sebagai keadaan rohani ia diperoleh tanpa upaya, karena Yang Satu sendiri yang menariknya ke hadirat-Nya dengan memberikan antusiasme ketuhanan ke dalam hati si penerima keadaan rohani itu. Sedangkan sebagai maqam atau peringkat rohani, cinta dicapai melalui ikhtiar terus-menerus, antara lain dengan memperbanyak ibadah dan melakukan mujahadah, yaitu perjuangan batin melawan kecenderungan buruk dalam diri disebabkan ulah hawa nafsu. Ibadah yang sungguh-sungguh dan latihan kerohanian dapat membawa seseorang mengenal kehadiran rahasia Yang Satu dalam setiap aspek kehidupan. Kemauan murni, yaitu kemauan yang tidak dicemari sikap egosentris atau mengutamakan kepentingan hawa nafsu, timbul dari tindakan ibadah. Kita harus menjadikan diri kita masjid yaitu, tempat bersujud dan menghadap kiblat-Nya, dan segala perbuatan kita pun harus dilakukan sebagai ibadah. Kemauan mempengaruhi amal perbuatan dan perilaku kita. Kemauan baik datang dari ingatan (zikir) dan pikiran (pikir) yang baik dan jernih tentang-Nya.
Dalam Suluk Wujil, yang memuat ajaran Sunan Bonang kepada Wujil pelawak cebol terpelajar dari Majapahit yang berkat asuhan Sunan Bonang memeluk agama Islam sang — wali bertutur:
Jangan terlalu jauh mencari keindahan
Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yang terjadi di sekitarmu
Adalah akibat perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau harus mengenal yang tidak dapat binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga pada akhirnya mencapai Tuhan
Sebab itu, Wujil! Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yang mengenal diri
Nafsunya terkendali
Kelemahan dirinya akan tampak
Dan dapat memperbaikinya
Dengan menyatakan `jagat terbentang dalam diri` Sunan Bonang ingin menyatakan betapa pentingnya manusia memperhatikan potensi kerohaniannya. Adalah yang spiritual yang menentukan yang material, bukan sebaliknya. Tetapi karena pikiran manusia kacau, ia menyangka yang material semata-mata yang menentukan hidupnya. Karena potensi kerohaiannya inilah manusia diangkat menjadi khalifah Tuhan di bumi.
Dalam Suluk Kaderesan, Sunan Bonang menulis:
Jangan meninggikan diri
Berlindunglah kepada-Nya
Ketahuilah tempat sebenarnya jasad ialah roh
Jangan bertanya
Jangan memuja para nabi dan wali-wali
Jangan kau mengaku Tuhan
.
Dalam Suluk Ing Aewuh ia menyatakan:
Perkuat dirimu dengan ikhtiar dan amal
Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia
Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan
Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul
Kau adalah pancaran kebenaran ilahi
Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia
.
Relevansi dan Pengaruh
Jelas sekali bahwa Sunan Bonang mengajarkan tasawuf positif dengan menekankan pentingnya ikhtiar dan kemauan (kehendak) dalam mencapai cita-cita.
Pengaruh ajaran ini juga terasa pula pada pandangan hidup dan budaya masyarakat muslim pesisir, khususnya di Jawa Timur dan Madura. Penduduk muslim Jawa Timur dan Madura sejak lama ialah pengikut madzab Syafii yang patuh dengan kecenderungan tasawuf yang kuat. Namun mereka juga memiliki etos kerja keras dan akrab dengan budaya dagang.
Tasawuf yang diresapi dan dipahami ternyata bukan tasawuf yang eskapis dan pasif. Sebaliknya yang dihayati ialah tasawuf yang aktif dan militan; aktif dan militan dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik, dan juga dalam kehidupan agama dan kebudayaan.
Pengaruh penting lain ajaran Sunan Bonang ialah pada pemikiran kebudayaan termasuk dalam seni atau wawasan estetik. Sunan Bonang berpendapat bahwa agama apa pun, termasuk Islam, dapat tersebar cepat dan mudah diresapi oleh masyarakat, apabila unsur-unsur penting budaya masyarakat setempat dapat diserap dan diintegrasikan ke dalam sistem nilai dan pandangan hidup agama bersangkutan.
Dr Abdul Hadi WM, Pengajar Universitas Paramadina-Mulya, Jakarta.

Sunan Bonang

Dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra
Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Jepara.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makamnya berada di kota Gresik.

Silsilah
.Sunan Bonang @ Ibrahim Makdum bin
.Sunan Ampel @ Raden Rahmat @ Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
.Maulana Malik Ibrahim bin
.Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Khan bin
.Ahmad Jalaludin Khan bin
.Abdullah Khan bin
.Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
.Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
.Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
.Ali Kholi’ Qosam bin
.Alawi Ats-Tsani bin
.Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
.Alawi Awwal bin
.Ubaidullah bin
.Ahmad al-Muhajir bin
.Isa Ar-Rumi bin
.Muhammad An-Naqib bin
.Ali Uradhi bin
.Ja’afar As-Sodiq bin
.Muhammad Al Baqir bin
.Ali Zainal ‘Abidin bin
.Imam Hussain
Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad Rasulullah.
Karya Sastra
Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tombo Ati yang kini masih sering dinyanyikan orang.
Apa pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.
Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Beliau mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernafasan yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya’. Beliau menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur’an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Sholat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia
Referensi
• B.J.O. Schrieke, 1916, Het Boek van Bonang, Utrecht: Den Boer
• G.W.J. Drewes, 1969, The admonitions of Seh Bari : a 16th century Javanese Muslim text attributed to the Saint of Bonang, The Hague: Martinus Nijhoff
Diperoleh dari “http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Bonang“

Senin, 07 Juni 2010

SUNAN AMPEL

Pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini.Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orangtua Sunan Ampel adalah Ibrahim Asmarakandi yang berasal dari Champa dan menjadi raja di sana.
Ibrahim Asmarakandi disebut juga sebagai Maulana Malik Ibrahim. Ia dan adiknya, Maulana Ishaq adalah anak dari Syekh Jumadil Qubro. Ketiganya berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah. http://en.wikipedia.org/wiki/Samarkand
Silsilah

.Sunan Ampel @ Raden Rahmat @ Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
.Maulana Malik Ibrahim @ Ibrahim Asmoro bin
.Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Khan bin
.Ahmad Jalaludin Khan bin
.Abdullah Khan bin
.Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
.Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
.Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
.Ali Kholi’ Qosam bin
.Alawi Ats-Tsani bin
.Muhammad Sohibus Saumi’ah bin
.Alawi Awwal bin
.Ubaidullah bin
.Ahmad al-Muhajir bin
.Isa Ar-Rumi bin
.Muhammad An-Naqib bin
.Ali Uradhi bin
.Ja’afar As-Sodiq bin
.Muhammad Al Baqir bin
.Ali Zainal ‘Abidin bin
.Imam Hussain
Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad Rasulullah.
Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan Champa dari sebelah ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah keturunan langsung dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut. Bermakna mereka termasuk keluarga besar Saadah BaAlawi.
Sejarah dakwahnya

Syekh Jumadil Qubro, dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan (http://en.wikipedia.org/wiki/Champa) , dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai.
Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya merubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri Champa, dan lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa diikuti keluarganya.
Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan seorang putri yang kemudian menjadi istri Sunan Kalijaga.
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia
membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat
sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra
pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara.
Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri
tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan
Madura.

Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia
hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah
dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah "Mo Limo" (moh main, moh
ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk "tidak
berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan
narkotik, dan tidak berzina."

Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak.
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.
Diperoleh dari “http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Ampel“
http://www.mail-archive.com/keluarga-islam@yahoogroups.com /msg12523.html

KH.Kholil Bangkalan : Punya Pasukan Lebah Penggempur Musuh

KH KHOLIL adalah guru utama yang mencetak banyak ulama besar di Jawa Timur. Sampai sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara gaib dengan Mbah Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salahsatunya dengan berziarah serta bermalam di makam beliau.

Seperti pernah dikisahkan KH Anwar Siradj, pe-ngasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab alfiyah, beliau mengalami kesulit-an. Padahal, kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.

Kiai Anwar sudah mencoba berguru kepada kiai-kiai besar di hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), Kiai Anwar dapat petunjuk, agar mempelajari kitab alfiyah di makam Mbah Kholil.

Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh Kiai Anwar ziarah di makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab alfiyah. ”Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal alfiyah,” jelas Ustadz Salim.

Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah Mbah Kholil meninggal, mengakui kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan pembimbing secara batin.

***

MBAH Kholil sempat menimba ilmu di Mekah selama belasan tahun. Satu angkatan dengan KH Hasyim Asy’ari. Selevel di bawahnya, ada KH Wahab Chasbullah dan KH Muhammad Dahlan.

Ada tradisi di antara kiai sepuh zaman dulu, meski hanya memberi nasihat satu kalimat, tetap dianggap sebagai guru Demikian juga yang terjadi di antara 4 ulama besar itu. Mereka saling berbagi ilmu pengetahuan, sehingga satu sama lain, saling memanggilnya sebagai tuan guru.

Menurut KH Muhammad Ghozi Wahib, Mbah Kholil paling dituakan dan dikeramatkan di antara para ulama saat itu. Kekeramatan Mbah Kholil, yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib.

”Dalam situasi kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya,” katanya.

Kiai Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, menge-rahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.

Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.

Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.

Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. ”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.

Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.

Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita Ghozi.

Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.

Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.

”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.

sumber:http://www.indospiritual.com/artikel_kh-kholil-bangkalan----punya-pasukan-lebah-penggempur-musuh.html

MENGENAL SYEKH MUHAMMAD KHALIL BANGKALAN

Di desa Langgundih, Keramat, Bangkalan, adalah seorang Kiai berbangsa Sayyid bernama Asror bin Abdullah bin Ali Al-Akbar bin Sulaiman Basyaiban. Ibu Sayyid Sulaiman adalah Syarifah Khadijah binti Hasanuddin bin Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Beliau dikenal dengan "Kiai Asror Keramat”, dinisbatkan pada kampung beliau. Kemudian oleh sebagian orang dirubah menjadi "Asror Karomah”, mungkin dalam rangka meng-arab-kan kalimat "Keramat”. Beliau menurunkan ulama-ulama besar Madura dan Jawa.

Kiai Asror memiliki putra dan putri. Diantara mereka adalah Kiai Khotim, ayah dari Kiai Nur Hasan pendiri Pesantren Sidogiri Pasuruan. Diantara mereka pula adalah dua orang putri yang sampai kini belum diketahui nama aslinya melalui riwayat yang shahih. Salah seorang dari mereka dinikahkan dengan Kiai Hamim bin Abdul Karim Azmatkhan yang bernasab pada Sunan Kudus (garis laki-laki) dan Sunan Cendana (garis perempuan).

Melalui Kiai Abbas, Kiai Asror memiliki cucu bernama Kiai Kaffal. Dan melalui Kiai Hamim, beliau memiliki cucu bernama Kiai Abdul Lathif. Kiai Abdul Lathif memiliki putri bernama Nyai Maryam dan Nyai Sa’diyah. Kemudian Nyai Maryam dinikahkan dengan Kiai Kaffal dan Nyai Sa’diyah dinikahkan dengan seorang Kiai dari Socah, Bangkalan.

Kiai Abdul Lathif adalah seorang da’i keliling. Beliau menjalani kehidupan sufi yang tidak menghiraukan hal-hal keduniaan. Apalagi sepeninggal istri beliau, Ummu Maryam (ibu Nyai Maryam), sejak saat itu beliau lebih aktif da’wah ke kampung-kampung, beliaupun jarang pulang ke rumah karena putri-putri beliau telah bersuami dan telah mandiri.

Pada suatu hari, setelah beberapa tahun Kiai Abdul Lathif tidak pulang ke rumah, tiba-tiba beliau datang dengan membawa seorang anak laki-laki kira-kira berumur tujuh tahunan. Kiyai Abdul Lathif berkata pada Nyai Maryam: " Wahai Maryam, Aku telah menikah lagi dan ini adalah adikmu. Kutinggalkan ia bersama kalian, didiklah dia sebagaimana aku mendidikmu.” Setelah itu Kiyai Abdul Lathif pergi lagi sebagaimana biasa. Tidak ada yang tahu kapan persisnya kejadian itu, sebagaimana tidak ada yang tahu kapan persisnya Kiai Kholil di lahirkan. Sebagian sesepuh keturunan Syeh Kholil ada yang memperkirakan bahwa Syeh Kholil lahir pada tahun 1252 H, atau sekitar tahun 1835 M.

Cerita ini mengingatkan kita pada cerita Nabi Ibrahim AS. Bagaimana beliau harus meninggalkan Isma’il, putra beliau yang masih bayi, di sebuah lembah yang gersang (Makkah), sementara beliau harus pergi jauh ke Palestina untuk menjalankan tugas da’wah. Siapa yang tidak sedih menyimak cerita ini, seorang ayah yang bersabar meninggalkan anaknya yang masih kecil, padahal betapa menyenangkannya memeluk, menatap dan bercanda dengan anak seusia Kholil kecil saat itu. Demikian pula dengan Nyai Maryam, sebenarnya beliau sangat sedih ditinggal oleh sang ayah. Di usia ayah yang mulai senja, inginnya hati Nyai Maryam merawat sang ayah, mestinya sang ayah sudah waktunya istirahat. Namun Nyai Maryam sadar, bhwa keluarga mereka adalah keluarga pengabdi pada agama, tidak ada istirahat untuk berda’wah sampai ajalpun tiba, istirahat mereka adalah di peraduan abadi bersama para leluhur mereka.

Menurut sebagian riwayat, sejak saat itu Kiai Abdul Lathif tidak pernah pulang lagi, maka hari itu adalah hari terakhir beliau melihat Nyai Maryam dan putra sulung beliau itu.

PENDIDIKAN

Nyai Maryam bersama sang suami, Kiai Kaffal, mulai merawat dan mendidik Kholil kecil. Mengajarinya membaca Al-qur’an dan ilmu-ilmu dasar agama. Melihat kecerdasan dan bakat Kholil kecil, Kiai Kaffal dan Nyai Maryam berpikir untuk memondokkannya ke sebuah pesantren, agar Kholil kecil dapat menimba ilmu dan terdidik lebih serius. Maka mereka pun memilih pesantren Bunga, Gersik, yang diasuh oleh Kiai Sholeh itu.

Tidak beberapa lama kemudian setelah Kholil kecil mondok di Bunga, terjadilah suatu peristiwa yang aneh. Ceritanya, suatu ketika Kiai Sholeh pulang dari kondangan dalam keadaan lapar. Karena sudah waktunya shalat, maka beliaupun meninggalkan bakul "berkat” (makanan oleh-oleh kenduren) diatas sebuah meja dan bermaksud memakannya seusai shalat. Kiai Sholeh kemudian mengimami shalat di musholla pesantren bersama santri-santri beliau. Ketika sedang shalat itu, tiba-tiba ada suara anak-anak tertawa cekikian di belakang Kiai Sholeh. Setelah shalat selesai, Kiai Sholeh bertanya dengan nada marah "Siapa yang tertawa tadi?” Maka berkatalah salah seorang santri: "Ini, Kiai, bocah dari Madura ini yang tertawa.” Setelah selesai dzikir, Kiai Sholeh memanggil bocah Madura yang tidak lain adalah Kholil kecil itu. Kiaipun memerahinya dan memukul kakinya dengan tidak terlalu keras seraya berkata: "Jangan ulangi lagi, ya?! Kalau waktu shalat jangan bergurau!”. Maka Kholil kecilpun berkata: "Tapi, Kiai, saya tidak bergurau, kok. Saya tertawa karena saya melihat Kiai shalat sambil berjoget dan di kepala Kiai ada bakul nasinya.” Mendengar kata-kata Kholil kecil itu, Kiai Sholeh menjadi terkejut dan heran, beliau teringat bahwa ketika sedang shalat tadi beliau memang sedang memikirkan nasi berkat, beliau sempat hawatir karena lupa tidak menitipkan nasi berkat itu, beliau hawatir nasi itu ada yang memakannya, karena beliau sedang sangat lapar dan di rumah beliau tidak ada makanan lagi selain nasi berkat itu. Menyadari hal aneh itu, Kiai Sholeh yakin bahwa Kholil kecil bukanlah anak sembarangan. Keesokan harinya, Kiai Sholeh mengajak beberapa santri pergi ke Bangkalan untuk Menemui Kiai Kaffal. Setibanya di rumah Kiai Kaffal, Kiai Sholeh langsung berbicara mengenai Kholil kecil.

"Kiai Kaffal, sebenarnya Kholil ini anak siapa?” Tanya Kiai Sholeh.

"Dia anak mertua saya, yaitu Kiai Abdul Lathif. Jadi dia adik ipar saya, saudara istri saya dari lain ibu.” Jawab Kiai Kaffal.

"Lalu di mana Kiai Abdul Lathif sekarang?”

"Tidak tahu, Kiai, beliau memang jarang pulang, beliau suka keliling ke kampung-kampung untuk berda’wah. Beliau menyerahkan Kholil kepada kami.”

"Kiai Kaffal, Kholil itu adalah anak yang luar biasa. Saya rasa, saya kurang pas untuk mendidik dia. Cari saja Kiai lain yang lebih mumpuni dari saya.”

Demikianlah inti pembicaran Kiai Sholeh dengan Kiai Kaffal. Maka Kiai Kaffal pun menjemput Kholil kecil dari Bunga. Tidak beberapa lama kemudian Syekh Kholil dimondokkan di Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan, yang di asuh oleh Kiai Asyik.

Beberapa tahun kemudian, Kholilpun sudah menginjak remaja dan ia pindah ke Pesantren Kebon Candi Pasuruan yang diasuh oleh Kiai Arif. Kholil muda belajar dan tinggal di Pesantren Kebon Candi, namun sambil belajar pada Kiai Nur Hasan Sidogiri. Setiap berangkat ke Sidogiri, beliau jalan kaki dari Kebon Candi yang berjarak kurang lebih tujuh kilo meter. Dalam Perjalanan, baik pergi maupun pulangnya, beliau membaca yasin empat puluh kali.

Tiga Pesantren itu adalah tempat-tempat belajar Syekh Kholil yang diriwayatkan dengan akurat dan shahih. Selain itu, ada beberapa riwayat bahwa beliau juga pernah mondok di dua tempat lain, yaitu Pesantren Langitan dan Pesantren Banyuwangi. Namun Menurut Kiai Kholil bin Abdul Lathif bin Muhammad Thoha bin Kaffal, sebagaimana yang dituturkan Kiai Thoha Kholili, dua Pesantren itu tidak dikenal oleh beliau sebagai tempat belajar Syekh Kholil. Waalahu a’lam.

Sejak kecil, sering terjadi hal-hal yang aneh pada Syekh Kholil. Sebenarnya Nyai Maryam sudah sering melihat hal-hal aneh Syekh Kholil sejak beliau baru diserahkan oleh Kiai Abdul Latif, namun Nyai Maryam tidak segera menceritakan hal-hal aneh itu pada Kiai Kaffal. Setelah sering terjadi dan Nyai Maryam hawatir terjadi apa-apa pada Kholil kecil, akhirnya Nyai Maryam bercerita juga pada Kiai Kaffal, namun Kiai Kaffal justru menganggap hal itu sebagai pertanda baik bagi Kholil kecil. Sampai usia remaja, hal-hal aneh sering terjadi pada Syekh Kholil, baik di rumah maupun di pesantern.

Selama di Pesantren, Syekh Kholil terkenal sebagai santri yang rajin dan sabar. Beliau menjalani hidup yang memprihatinkan, karena memang beliau nyantri dengan hidup mandiri, tanpa ada yang membiayai. Karena beliau banyak memanfaatkan waktu untuk belajar, beliaupun tidak sempat bekerja cukup untuk mendapat makanan yang layak, dan akibatnya beliau harus makan makanan yang sangat tidak layak, seperti makanan sisa, makanan basi yang telah dijemur, kulit semangka dan sebagainya. Sebenarnya, hidup seperti itu tidak memprihatinkan buat Syekh Kholil, karena beliau memiliki kebanggaan dan kenikmatan lain melebihi makanan lezat dan hidup mewah, yaitu kenikmatan dan kebanggaan menuntut ilmu. Maka dari itu, walaupun beliau menjalani hidup yang memprihatinkan menurut orang lain, namun tidaklah memprihatinkan menurut beliau sendiri, wajah beliau tidak kalah bersahaja dari pada teman-teman beliau yang hidupnya cukup atau berkecukupan.

Setelah cukup dewasa, Syekh Kholil bermaksud melanjutkan belajar ke Makkah Al-Mukarramah.

Dalam buku "Surat kepada Anjing Hitam”, Saifur Rachman menulis bahwa sebelum belajar di Makkah, Syekh Kholil belajar di Pesantren Banyuwangi. Saifur Rachman Berkata: "Inilah Pesantren Kiai Kholil yang ditempuh di Jawa. Selama di Pesantren ini Kholil santri mempunyai kisah tersendiri. Pengasuh Pesantren ini mempunyai kebun kalapa yang sangat luas. Kholil santri menjadi buruh memetik kelapa dengan upah 80 pohon mendapat tiga sen. Semua hasil memetik kelapa disimpan didalam peti, lalu di persembahkan pada Kiai. Tentang biaya makan sehari-hari, Kholil santri menjalani kehidupan prihatin. Terkadang menjadi pembantu (khaddam) Kiai, mengisi bak mandi, mencuci pakaian dan piring serta pekerjaan lainnya. Bahkan Kholil santri sering menjadi juru masak kebutuhan teman-temannya. Dari kehidupan prihatin itu Kholil santri mendapat makan cuma-cuma. Sesudah cukup di Pesantren itu, gurunya menganjurkan Kholil untuk melanjutkan belajarnya ke Makkah. Uang dalam peti yang dahulu dihaturkan kepada Kiai, kemudian oleh Kiai diserahkan kembali pada Kholil sebagai bekal belajar di Makkah.

Riwayat ini sebenarnya tidak dikenal oleh sesepuh keturunan Syekh Kholil sendiri. Namun hal itu masih dalam kategori "mungkin”. Kalau riwayat ini benar, maka riwayat ini bisa disambung dengan riwayat keluarga Syekh Kholil, bahwa pada suatu hari Syekh Kholil pulang menemui Nyai Maryam, tiba-tiba Syekh Kholil Berkata: " Kak, saya mau pamit berangkat ke Makkah.”

"Mau berangkat kapan, ‘Lil?” Tanya Nyai Maryam.

"Sore ini, kak.” Jawab Syekh Kholil singkat.

Sebenarnya ini suatu hal yang aneh, karena setahu Nyai Maryam, Syekh Kholil tidak punya uang banyak untuk bisa ke Makkah, apalagi dengan mendadak seperti itu. Namun Nyai Maryam sudah biasa mendapati hal yang aneh-aneh dari sang adik, maka Nyai Maryampun percaya saja dan tidak menganggap hal itu sebagai hal yang aneh. Maka Nyai Maryampun berkata: "Kalau begitu tunggu aku masak nasi dulu, ya, ‘Lil. Kamu makan dulu sebelum berangkat.” Syekh Kholilpun menunggu sang kakak memasak. Setelah makanan siap, Syekh Kholilpun makan dan kemudian pamit berangkat ke Makkah. Menurut penuturan Nyai Maryam, Syekh Kholil berjalan ke arah Barat dan Nyai Maryam menatap kepergian beliau sampai beliau tak terlihat. Nyai Maryam tidak tahu persisnya Syekh Kholil berangkat naik apa dan dari mana. Barangkali saja Syekh Kholil naik kapal dari Kamal atau dengan cara lain. Wallahu a’alam

DI MAKKAH AL-MUKARRAMAH

Dalam buku "Surat Kepada Anjing Hitam”, Saifur Rachman menulis: "Selama dalam perjalanan ke Makkah, Kholil selalu dalam keadaan berpuasa dan mendekatkan diri kepada Allah. Siang hari banyak digunakan membaca Al-Qur’an dan shalawat, sedangkan pada malam hari digunakan melakukan wirid dan taqarub kepada Allah. Hal itu dilakukannya terus menerus sampai di Makkah. Setibanya di mekkah Kholil segera bergabung dengan teman-temannya dari Jawa. Selama di Makkah Kholil mempelajari pelbagai ilmu pengetahuan. Banyak para Syaikh yang Kholil datangi.

Selama menempuh pendidikan di Makkah, kebiasaan hidup sederhana dan prihatin tetap dijalankan seperti waktu dipesantren Jawa. Kholil sering makan kulit semangka ketimbang makanan yang wajar pada umumnya. Sedangkan minumannya dari air zamzam, begitu dilakukannya terus menerus selama empat tahun di mekkah. Hal ini mengherankan teman-teman seangkatannya, seperti Nawawi dari banten, Akhmad Khatib dari Minang Kabau dan Ahmad Yasin dari Padang. Bahkan ketika bermaksud buang air besar, Kholil tidak pernah melakukan di Tanah Haram, tetapi keluar ke tanah halal karena menghormati Tanah Haram.

Didalam berguru, Kholil mencatat pelajarannya menggunakan baju yang dipakainya sebagai kertas tulis. Kemudian, setelah dipahami dan dihafal lalu dicuci, kemudian dipakai lagi. Begitu seterusnya dilakukan selama belajar di Mekkah. Oleh sebab itu pakaian Kholil semuanya berwarna putih. Tentang biaya selama nyantri di Mekkah Kholil menulis pelbagai risalah dan kitab kemudian dijual. Kholil banyak menulis kitab Alfiah dan menjualnya seharga 200 real perkitab.

Terkadang memanfaatkan keahliannya menulis khat (kaligrafi) untuk menghasilkan uang. Semua uang hasil penulisan risalah dan kitab kemudian dihaturkan kepada gurunya. Kholil sendiri memilih kehidupan sangat sederhana. Kehidupan sederhana yang ditempuhnya selama nyantri di mekkah adalah pengaruh kuat ajaran Imam Ghazali, salah seorang ulama yang dikaguminya.

Dalam mengarungi lautan ilmu di Makkah, disamping mempelajari ilmu dhohir (eksoterik), seperti tafsir, Hadits, Fikih dan ilmu nahwu, juga mempelajari ilmu bathin (isoterik) ke pelbagai guru spiritual. Tercatat guru spiritual Kholil adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas Ibnu Abdul Ghofar yang bertempat tinggal di Jabal Qubais. Syaikh Ahmad Khatib mengajarkan Thariqoh Qodariyyah wan Naqsyabandiyyah. Biasanya kedua thariqoh ini terpisah dan berdiri sendiri. Namun setelah Syaikh Ahmad Khatib, kedua thariqoh ini dipadukan.

CARA BELAJAR SYEKH KHOLIL

Kesimpulannya, didalam menuntut ilmu, Syekh Kholil telah maksimal mengusahakan hal-hal berikut:

1. Ikhlas karena Allah SWT. Beliau tidak peduli dengan pahitnya kehidupan saat itu, karena yang beliau pentingkan adalah ilmu, dengan harapan Allah ridha dengan ilmu yang beliau dapat. Beliau dapat membuktikan keikhlasan itu ketika Allah SWT menguji beliau dengan hidup yang serba kekurangan.

2. Akhlaq yang tinggi kepada Allah SWT. Kita bisa lihat akhlaq beliau ketika beliau harus keluar dari tanah haram (Makkah) untuk buang air besar. Beliau merasa tidak sopan buang hajat di tanah suci. Ini menunjukkan betapa Syekh Kholil sangat tawadhu’ dan peka terhadap Allah.

3. Cinta, hormat dan patuh kepada guru, tentunya setelah memilih guru yang layak. Apapun beliau berikan kepada guru, untuk membantu dan membuat guru ridha. Dihadapan guru, beliau siap sedia untuk diperintah melebihi budak dihadapan tuannya. Jangankan harta, nyawapun siap dipertaruhkan untuk guru.

4. Mencintai ilmu sehingga beliau rajin belajar.

Dengan menggabung empat hal ini, Syekh Kholil berhasil mendapatkan ilmu yang banyak dan barokah, dan semua itu kemudian mengantarkan beliau mendapat derajat yang tinggi di sisi Allah, yaitu sebagai ulama da wali Allah. Bagi yang ingin mendapatkan apa yang diperoleh Syekh Kholil, maka empat hal itulah kuncinya.

URU-GURU SYEKH KHOLIL

DI MAKKAH AL-MUKARRAMAH

Dalam buku "Surat Kepada Anjing Hitam”, Saifur Rachman menulis: "Muhammad Kholil bersama Abdul Karim dan Tolhah berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib Sambas. Setelah ketiganya mendapat ijazah dan berhak sebagai mursyid, lalu pulang ke Jawa menyebarkan thariqoh Qodariyyah dan Naqsyabandiyyah.

Menurut Abah Anom, seorang mursyid Thariqoh Qodariyyah wan Naqsabandiyyah di Tasikmalaya, Syaikh Abdul Karim menyebarkan Thariqot di Banten, Syaikh Tolhah di Cirebon dan syaikh Kholil di Madura. Tentang keabsahan Thariqoh Kiai Kholil banyak kekhilafan diantara ulama. Namun menurut catatan penulis yang mendengar langsung lewat kaset penjelasan murid Kiai Kholil, Kiai As’ad Syamsul Arifin, bahwa thariqoh Kiai Kholil adalah Qodariyyah wan Naqsabandiyyah.

Dengan demikian silsilah Kiai kholil dalam kemursyidan thariqoh Qodariyyah wan Naqsabandiyyah dari jalur Syaikh Ahmad Khatib Sambas adalah sebagai berikut :

1. Allah SWT Rabbul Alamin.

2. Jibril AS.

3. Nabi Muhammad SAW.

4. Ali Bin Abi Thalib.

5. Husein Bin Ali.

6. Zaenal Abidin

7. Muhammad Al-Baqir.

8. Ja’far Ash-Shodiq.

9. Imam Musa Al-Kazhim.

10. Abu Hasan Ali Ar-Ridho

11. Ma’ruf Karkhi

12. Sari As-Saqoti

13. Abu Qosim Junaid Al-Baghdadi

14. Abu Bakar Asy-Syibli

15. Abu Fadly Abd Wahidi At-Tamimi

16. Abu Farazi At-Thurthusil

17. Abu Hasan Ayyub

18. Abu Said Al-Mubarok

19. Abdul Qodir Al-Jailani

20. Abdul Aziz

21. Muhammad Al-Hattak

22. Syamsudin

23. Syarifudin

24. Nurudin

25. Waliyyuddin

26. Hisyammuddin

27. Yahya

28. Abu Bakar

29. Abdurrahim

30. Utsman

31. Abdul Fattah

32. Muhammad Muraad

33. Syamsudin

34. Ahmad Khatib Sambas

35. Muhammad Kholil Bangkalan

Melihat kewenangan Kiai Kholil sebagai mursyid Thariqoh Qodariyyah wan Naqsyabandiyyah menunjukkan beliau memiliki derajat yang tinggi di dalam maqom spiritualnya. Menurut penuturan Kiai As’ad Syamsul Arifin, pada saat Kiai Kholil berzikir di ruangan majlis dzikir, apabila lampu dimatikan sering terlihat sinar biru yang sangat terang memenuhi ruangan tersebut.

Sementara itu, ada empat nama yang saya baca dalam tulisan tangan Syekh Kholil, nampaknya mereka ini adalah guru-guru beliau sewaktu belajar di Makkah Al-Mukarramah, yaitu:

1. Syekh Ali Al-Mishri: Nama ini saya dapatkan pada salah satu surat Syekh Kholil kepada Kiai Muntaha ketika Kiai Muntaha belajar di Makkah.

2. Syekh Umar As-Sami: Saya temukan pada tulisan Syekh Kholil sebagai catatan pinggir kitab Al-Matan Asy-Syarif (ilmu nahwu). Di situ Beliau menyitir banyak keterangan yang beliau terima dari Syekh Umar As-Sami.

3. Syekh Khalid Al-Azhari,

4. Syekh Al-Aththar

5. dan Syekh Abun-Naja: Mereka bertiga juga sering disebut dalam beberapa tulisan tangan Syekh Kholil sebagai orang yang memberikan keterangan-keteragan dalam ilmu nahwu. Nama-nama itu tersebar di berbagai kitab tulisan tangan Syekh Kholil. Saya melihat dan mempelajari tulisan-tulisan itu dari kitab-kitab Syekh Kholil yang ada pada Kiai Thoha Kholili.

Syek Ali Ar-Rahbini, guru terdekat Syekh Kholil

Syekh Ali bin Muhammad Amin bin Athiyyah Ar-Rahbini. Beliau adalah salah satu ulama Makkah. Saya pernah membaca biografi beliau dalam sebuah kitab "Tarajim” yang saya pinjam dari Syekh Ruwaid bin Hasan Ar-Rahbini ketika beliau bertandang ke Malang, namun sayang sekali saya tidak sempat meng-copy kitab itu, sayapun lupa sebagian besar isinya. Kejadian itu memang sudah cukup lama, yaitu sekitar tahun 1992 dimana pada saat itu saya baru berusia 17 tahun.

Adapun putra beliau yag bernama Syekh Muhammad bin Ali, maka Syekh Umar Abdul Jabbar, dalam kitab "tarajim”nya, menulis bahwa beliau lahir pada tahun 1286 H (+ 1871) dan wafat tahun 1351 H (+ 1934). Maka Syekh Muhammad bin Ali lebih muda 36 tahun dari Syekh Kholil. Beliau masuk dalam jajaran ulama Makkah abad ke-13, sezaman dengan Sayyid Abbas bin Abdul Aziziz Al-Maliki (kakek Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas Al-Maliki). Menurut Syekh Umar Abdul Jabbar, Syekh Muhammad bin Ali memiliki Majlis ta’lim di Babul Umroh Masjidil Haram. Bisa jadi, Syekh Muhamad menggatikan majlis ayah beliau, sebagaimana adat ulama Makkah apabila meneruskan profesi orang tuanya. Syekh Ali dan Syekh Muhammad masyhur dengan keahlian yang menonjol dalam bidang qira’at (riwayat bacaan Al-Qura’an). Mereka hafal Al-Qur’an dengan tujuh qira’at (riwayat).

Adapun Syekh Ali Ar-Rahbini, Di akhir hayat beliau tertimpa sakit hingga mengalami kebutaan, sehingga beliaupun berhenti mengajar di Masjidil Haram. Namun Syekh Kholil tidak berhenti belajar kepada Syekh Ali setelah beliau buta, karena Syekh Kholil memohon izin untuk terus belajar di rumah beliau dan beliaupun berkenan. Syekh Kholil sangat menghormati dan meyakini Syekh Ali, sehingga ketika Syekh Ali meyuruh Syekh Kholil pulang, Syekh Kholil mematuhi perintah itu walau sebenarnya beliau masih merasa kurang ilmu dan masih ingin menambah ilmu. Berkat kepatuhan itu Syekh Kholil diberkati oleh Allah SWT.

Pada tahun 1997 saya bersilaturrahim kepada Syekh Muhammad Thayyib bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini di Makkah, cucu Syekh Ali Ar-Rahbini, waktu itu beliau telah berusia 95 tahun dan saya baru berusia 22 tahun. Kebetulan, ibu saya adalah cucu Syekh Ali dari jalur Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini, maka saya pernah "buyut paman” pada Syekh Muhammad Thayyib. Diantara riwayat yang saya ambil dari beliau adalah bahwa Syekh Ali Ar-Rahbini memiliki karya tulis tentang Al-Qur’an, namun sampai saat itu manuskripnya hilang entah kemana.

Mengenai nisbat Ar-Rahbini, Rahbin adalah nama sebuah kampung di dekat kota Samannud, Mesir. Syekh Ali memang keturunan Mesir. Beliau yang pertama wafat di Makkah. Ayah beliau, yaitu Syekh Muhammad Amin wafat di Istambul, Turki. Sedang kakek beliau, yaitu Syekh Athiyyah, dan beberapa generasi sebelumnya tinggal di kampung Rahbin itu. Keluarga Ar-Rahbini yang di Indonesia memegang silsilah hanya sampai Athiyyah. Menurut Syekh Ruwaid bin Hasan bin Ali Ar-Rahbini, cucu beliau yang tinggal di Jiddah, nasab Al-Rahbini bersambung pada Sayyidina Utsman bin Affan.

Setelah Syekh Kholil pulang ke Indonesia, beliau tidak putus hubungan dengan Syekh Ali. Setelah Syekh Ali meninggal, ternyata putra beliau, Syekh Muhammad, juga menonjol kelimannya dan mengajar di Masjidil Haram. maka keponakan Syekh Kholilpun, yaitu Kiai Muntaha yang kelak kemudian menjadi menantu beliau, belajar pada Syekh Muhammad bin Ali Ar-Rahbini.

Hubungan Syekh Kholil dengan keluarga Ar-Rahbini tidak berhenti sampai pada Syekh Muhammad, melainkan berlangsung sampai pada Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini, karena cucu guru beliau itu akhirnya datang ke Indonesia. Cerita kedatangan Syekh Ali cukup menarik sehingga layak untuk dimuat sebagai salah satu cerita karomah Syekh Kholil.

Pada suatu pagi setelah shalat shubuh, seperti biasa Syekh Kholil mengajar santri di mushalla. Tiba-tiba Syekh Kholil menutup kitab dan berkata: "Anak-anak, pengajian kali ini singkat saja, sekarang kalian langsung membersihkan halaman dan ruang tamu, karena sebentar lagi ada tamu agung, yaitu cucu dari guruku, Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini.

Setelah semua lingkungan pondok bersih, maka datanglah Syekh Ali bin Muhammad bin Ali Ar-Rahbini. Syekh Kholil sudah tahu bakal kedatangan tamu jauh, padahal waktu itu belum ada telpon.

Setelah Syekh Ali datang, maka Syekh Kholil menciumi Syekh Ali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Begitu cinta dan hormatnya beliau terhadap Syekh Ali sebagai cucu dari guru beliau. Kemudian Syekh Kholil menyuruh santri untuk mengambil tiga gelas diatas nampan, gelas yang pertama diisi air putih, gelas kedua diisi susu, gelas ketiga diisi kopi. Kemudian Syekh Kholil berkata pada santri-santri: "Apabila Syekh Ali minum susu, insyaallah beliau tidak lama di Indonesia. Apabila Syekh Ali minum air putih, insyaallah beliau akan tinggal lama di Indonesia dan akan pulang ke Makkah. Dan apabila Syekh Ali minum kopi, insyaallah beliau terus tinggal di Indonesia.” Mendengar ucapan Syekh Kholil tersebut, para santri menunggu saatnya Syekh Ali memilih diantara tiga gelas itu. Ternyata Syekh Ali memilih dan meminum kopi, padahal kopi Madura (Indoesia) lain dengan kopi Arab. Kontan saja para santri bersorak gembira. Syekh Ali hanya tersenyum saja karena tidak mengerti apa yang terjadi, beliau pikir sorak gembira itu adalah bagian dari adat menyambut tamu.

Syekh Ali datang ke Indonesia pada tahun 1921, beberapa tahun sebelum Syekh Kholil wafat. Waktu itu Syekh Ali masih berusia 18 tahun dan masih lajang, namun sudah hafal Al-Qur’an dan perawakannya tinggi besar dengan wajah putih berbulu lebat. Dengan ilmu dan perawakannya itu beliau tidak nampak seperti anak muda, melainkan sudah berwibawa.

Kendatipun Syekh Kholil sangat menghormati Syekh Ali, namun Syekh Ali juga tidak kalah menghormati Syekh Kholil, bahkan Syekh Ali kemudian berguru pada Syekh Kholil. Tidak sampai di situ, melainkan Syekh Ali menjadi sangat ta’zhim dan fanatik terhadap Syekh Kholil. Beliaupun menikahkan salah satu cucu beliau dengan seorang cucu Syekh Kholil. Ketika lahir anak pertama pasangan sang Kiai cucu Syekh Kholil dan sang Nyai cucu Syekh Ali, Syekh Ali memberi bayi itu Nama "Kholil”. Semula sang Kiai cucu Syekh Kholil itu keberatan, karena di keluarga beliau sudah banyak yang bernama "Kholil”. Menanggapi keberatan itu kemudian Syekh Ali marah dan berkata: "Biarpun sudah ada seribu ‘Kholil’, anakmu tetap harus diberi nama ‘Kholil’. Seribu ‘Kholil’ seribu barokah!” Akhirnya anak itupun kemudian diberi nama "Kholil”.

Itu adalah sebagian cerita antara Syekh Kholil dengan keluarga Ar-Rahbini. Adapun Syekh Ali Ar-Rahbini sendiri kemudian tinggal di Gondanglegi Malang. Beliau dikenal sebagai ulama yang hafal Al-Qur’an dan fasih, suaranya yang lantang dan berwibawa membuat jamaah jum’at betah mendengar khutbah beliau walaupun mereka tidak mengerti khutbah beliau yang berbahasa Arab. Beliau juga dikenal wali, banyak cerita kezuhudan dan karomah beliau yang tentu terlalu panjang untuk dimasukkan dalam bab ini.

Beliau menikah dengan beberapa wanita Jawa dan Madura, dari lima orang istri beliau mempunyai 24 putra-putri. Beberapa putri beliau dinikahkan dengan Kiai-kiai Madura, yaitu Nyai Lathifah dengan Kiai Shonhaji Jazuli (ulama besar Pamekasan); adiknya, yaitu Nyai Aminah dengan adik Kiai Shonhaji, yaitu Kiai Mahalli; Nyai Sarah dengan Kiai Asim Luk-guluk (ulama besar Sumenep); Nyai Qudsiyah dengan Kiai Abdul Aziz Ombhul (ulama besar Sampang). Adapun dari putra-putra beliau ada dua orang yang meneruskan perjuangan beliau, yaitu Kiai Fauzi di Gondanglegi, Malang dan Kiai Khairuman yang mendirikan pondok pesantren di Pontianak, yaitu Pesantren Darul Ulum yang merupakan pesantren terbesar dan terkenal di Kalimantan Barat.

SILSILAH NASAB

Syekh Kholil adalah titisan beberapa wali yang tergabung dalam Walisongo, Yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, yang mana mereka bermarga "Azmatkhan” dan bersambung pada Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada keluarga Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbat Al-Alawi Al-Husaini.

Berikut ini adalah silsilah nasab Syekh Syekh Kholil, terlebih dahulu saya tulis silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Suanan Kudus, untuk menunjukkan hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga/fam) "Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini”, sesuai dengan adat dan istilah pernasaban bangsa Arab.

Jalur Sunan Kudus (Garis laki-laki)

1.
Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2.
Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3.
Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4.
Kiai Abdul Karim
5.
Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6.
Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7.
Kiai Selase. Dimakamkan di Selase Petapan, Trageh, Bangkalan.
8.
Kiai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan.
9.
Kiai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan.
10.
Kiai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
11.
Kiai Khatib. Ada yang menulisnya "Ratib”. Dimakamkan di Pranggan, Sumenep.
12.
Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkal). Dimakamkan di Sumenep.
13.
Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos). Dimakamkan di Ampel Surabaya
14.
Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) Dimakamkan di Kudus.
15.
Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Dimakamkan di Kudus.
16.
Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri /Raja Pandita). Dimakamkan di Gresik.
17.
Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di Tuban
18.
Sayyid Husain Jamaluddin Dimakamkan di Bugis.
19.
Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Dimakamkan di Naseradab, India.
20.
Sayyid Abdullah. Dimakamkan di Naserabad, India.
21.
Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Dimakamkan di Naserabad, India.
22.
Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
23.
Sayyid Muhammad Shahib Mirbath. Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman.
24.
Sayyid Ali Khali’ Qasam. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
25.
Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
26.
Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
27.
Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman.
28.
Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di Hadramaut, Yaman.
29.
Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman.
30.
Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
31.
Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
32.
Al-mam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
33.
Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
34.
Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
35.
Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
36.
Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimakamkan di Karbala, Iraq.
37.
Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti Sayyidina Muhammad Rasulillah SAW. Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah

Maka, dari jalur Sunan Kudus, Syekh Kholil adalah generasi ke-37 dari Rasulullah SAW.

Jalur Sunan Ampel (garis perempuan)

1.
Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2.
Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3.
Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4.
Kiai Abdul Karim.
5.
Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6.
Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7.
Nyai Tepi Sulasi (Istri Kiai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8.
Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9.
Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10.
Sayyid Muhammad Khathib (Raden Bandardayo). Dimakamkan di Sedayu Gresik.
11.
Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan di Dekat Gunung Muria Kudus. Dalam sebagian catatan nama Musa ini tidak tertulis.
12.
Sayyid Qasim (Sunan Drajat). Dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan.
13.
Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Dimakamkan di Ampel, Surabaya.
14.
Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Sulasi dan Kiai Sulasi bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Syekh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW.

Jalur Sunan Giri (garis perempuan)

1.
Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2.
Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3.
Kiai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4.
Kiai Abdul Karim.
5.
Kiai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6.
Kiai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7.
Nyai Tepi Sulasi (Istri Kiai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8.
Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9.
Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10.
Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khathib). Dimakamkan di Giri, Gresik.
11.
Ali Khairul Fatihi / Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri, Gresik.
12.
Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Dimakamkan di Giri, Gresik.
13.
Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai.
14.
Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khathib bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Giri, Syekh Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah SAW.

Jalur Sunan Gunung Jati (garis perepuan)

1.
Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2.
Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3.
Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4.
Kiai Asror Karomah.
5.
Sayyid Abdullah.
6.
Sayyid Ali Al-Akba
7.
Syarifah Khadijah.
8.
Maulana Hasanuddin Dimakamkan di Banten.
9.
Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dimakamkan di Cirebon.
10.
Sayyid Abdullah Umdatuddin.
11.
Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam.
12.
Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Disini nasab Nyai Khadijah dan Kiai Hamim Kholil bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Syekh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW.

Jalur Basyaiban (garis perempuan)

1.
Syekh Muhammad Kholil Bangkalan.
2.
Kiai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3.
Nyai Khadijah (Istri Kiai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4.
Kiai Asror Karomah.
5.
Sayyid Abdullah.
6.
Sayyid Ali Al-Akbar.
7.
Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8.
Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Hasanuddin).
9.
Sayyid Umar.
10.
Sayyid Muhammad.
11.
Sayyid Abdul Wahhab.
12.
Sayyid Abu Bakar Basyaiban.
13.
Sayyid Muhammad.
14.
Sayyid Hasan At-Turabi.
15.
Sayyid Ali.
16.
Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.
17.
Sayyid Ali.
18.
Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Disini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban bertemu.

Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Syekh Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah SAW.

Demikianlah nasab Syekh Kholil dengan berbagai jalur yang saya dapatkan sampai saat ini, bisa jadi suatu hari nanti kita menemukan nama-nama baru daripada istri-istri jalur laki-laki yang ada itu.

Dalam hal pencatatan nasab, ada satu hal yang cukup membanggakan bagi Kiai-kiai Jawa dan Madura. Berkat gabungan antara adat Arab dalam menjaga silsilah dan adat Jawa/Madura yang tidak membeda-bedakan garis laki-laki dan perempuan, akhirnya Kiai-Kiai Jawa/Madura banyak yang memliki silsilah lengkap dari berbagai jalur. Saya pernah menunjukkan sebuah silsilah seperti ini pada seorang Syekh dari Yaman, beliau merasa kagum karena banyak jalur perempuan yang juga dicatat dalam silsilah itu selain jalur laki-laki, karena pada umumnya, orang Arab tidak tahu nama-nama kakek-buyutnya yang dari jalur ibu atau jalur nenek, mereka hanya mengenal yang jalur ayah keatas dengan garis laki-laki

SEPULANG DARI MAKKAH

Saya membaca catatan Syekh Kholil dalam kitab "Hasyiyah Al-Bajuri” tulisan tangan beliau yang ada pada Kiai Thoha Kholili Jangkibuan, di situ tertulis pernyataan berbahasa Arab yang artinya: "Aku membaca (mengaji) kitab ini pada tahun 1274 H pada …”. Nama guru ngaji beliau tidak jelas karena tulisannya rusak seperti terkena basah.

Kemudian, dalam catatan Kiai Kholili Jangkibuan, tertulis bahwa Syekh Kholil menikah dengan Nyai Assek binti Ludrapati pada tahun 1278. Maka kita bisa memastikan bahwa kepulangan Syekh kholil dari Makkah adalah antara tahun 1274 dan 1278 (+ 1857-1861).

Sepulang dari Makkah, Syekh Kholil tidak langsung mengajar, beliau baru mulai berpikir bagaimana caranya agar dapat mengajarkan ilmunya pada masyarakat. Beliau masih tinggal bersama kakak beliau, Nyai Maryam, di Keramat. Sambil mencari peluang untuk mengamalkan ilmunya, Syekh Kholil mengisi waktu dengan bekerja di kantor pejabat Adipati Bangkalan. Selain untuk mencari nafkah, sepertinya beliau juga bermaksud untuk mencari banyak teman dan kenalan, karena hanya dengan begitulah beliau dapat bergaul.

Di kantor pejabat Adipati Bangkalan itu, Syekh Kholil diterima sebagai penjaga dan kebagian jaga malam. Maka setiap bertugas malam, Syekh Kholil selalu membawa kitab, beliau rajin membaca di sela-sela tugas beliau. Akhirnya beliaupun oleh para pegawai Adipati dikenal ahli membaca kitab, sehingga berita itupun sampai pada Kanjeng Adipati. Kebetulan, leluhur Adipati sebenarnya adalah orang-orang alim, mereka memang keturunan Syarifah Ambami Ratu Ibu yang bersambung nasab pada Sunan Giri. Maka tidak aneh kalau di rumah Adipati banyak terdapat kitab-kitab berbahasa Arab warisan leluhur, walaupun Adipati sendiri tidak dapat mebaca kitab berbahasa Arab. Adipatipun mengizinkan Syekh Kholil untuk membaca kitab-kitab itu di perpustakaan beliau. Syekh Kholil merasa girang bukan main, karena pada zaman itu tidak mudah untuk mendapatkan kitab, apalagi sebanyak itu.

Setelah yakin bahwa Syekh Kholil betul-betul ahli dalam ilmu keislaman dan bahasa Arab, maka Kanjeng Adipati mengganti tugas Syekh Kholil, dari tugas menjaga kantor berubah tugas mengajar keluarga Adipati. Pucuk dicinta ulampun tiba, demikianlah yang dirasa oleh Syekh Kholil, beliaupun memanfaatkan kesempatan itu untuk mengembangkan ilmunya dengan mengajar keluarga bangsawan. Beliaupun telah memiliki profesi baru sebagai pengajar ilmu agama.

Sejak saat itu, Syekh Kholil memiliki tempat yang terhormat di hati Kanjeng Adipati dan keluarga bangsawan lainnya. Mereka mulai menghormati dan mencintai beliau sebagai ulama. Maka tertariklah seorang kerabat Adipati untuk bermenantukan Syekh Kholil, yaitu Raden Ludrapati yang memiliki anak gadis bernama Nyai Assek. Setelah proses pendekatan, maka diputuskanlah sebuah kesepakatan untuk menikahkan Syekh Kholil dengan Nyai Assek. Pernikahanpun berlangsung pada tanggal 30 Rajab 1278 H (+1861 M).

Setelah menikah dengan Nyai Assek, Syekh Kholil mendapatkan hadiah dari sang mertua, Ludrapati, berupa sebidang tanah di desa Jangkibuan. Beliaupun membangun rumah dan pesantren di tanah itu. Beliau mulai menerima santri sambil masih mengajar di keraton Adipati. Tidak ada riwayat tentang sampai kapan Syekh Kholil mengajar di keraton Adipati, namun yang pasti, Pesantren Jangkibuan semakin hari semakin ramai, banyak santri berdatangan dari berbagai penjuru, baik dari sekitar Bangkalan maupun daerah lain di Madura dan Jawa.

Syekh Kholil mengukir prestasi dengan cepat, nama beliau cepat dikenal oleh masyarakat, khususnya masyarakat pesantren, baik di Madura maupun di Jawa. Cepatnya nama beliau terkenal membuat banyak teman mondok beliau tidak percaya. Diantara mereka ada seseorang yang pernah berteman dengan beliau sewaktu mondok di Cangaan, orang ini tidak percaya bahwa Kholil yang ia kenal telah menjadi ulama besar.

Ketika ia mendengar bahwa Syekh Kholil itu adalah Kholil temannya di Cangaan, maka iapun berkata: "Masa, sih, dia Kholil yang dulu suka main kelereng dengan saya itu?!”. Karena penasaran, orang itupun datang ke Bangkalan. Setibanya di bangkalan, orang itu bertanya pada seseorang, "mana rumah Syekh Kholil?”. Orang yang ditanya menunjukkan arah rumah Syekh Kholil, namun ternyata orang Jawa itu justru melihat banyak binatang buas di tempat yang ditunjuk itu. Iapun kembali menemui orang yang ditanya tadi, tapi tetap saja ia menunjuk tempat yang sama. Demikian sampai tiga kali.

"Tapi tempat itu bukan rumah, kok, pak. Di situ saya lihat banyak binatang buasnya.”

"Ah, masa? Baiklah, mari saya antar.”

Setelah ketiga kalinya, orang Jawa itupun diantar dan begitu tiba di tempat ternyata ia melihat sebuah rumah yang dikerumuni binatang buas, bersamaan dengan itu keluarlah Syekh Kholil dan binatang-binatang itupun langsung pergi. Melihat yang keluar adalah benar-benar Kholil yang ia kenal, maka orang Jawa itupun langsung mencium tangan Syekh Kholil dan meminta maaf. Sejak saat itu, orang Jawa yang dulunya berteman dengan Syekh Kholil di Cangaan itupun kemudian berguru pada Syekh Kholil.


PESANTREN DEMANGAN

Pada tahun 1280 (+1863), lahirlah putri Syekh Kholil yang bernama Nyai Khotimah. Sementara itu Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil) dengan Kiai Kaffal memiliki putra bernama Kiai Muntaha yang lahir pada tahun 1266 H. Saat Nyai Khotimah lahir, Kiai Muntaha berusia 14 tahun. Muntaha muda diberangkatkan ke Makkah untuk menuntut ilmu. Pada tahun 1288, Kiai Muntaha yang telah berubah nama menjadi Muhammad Thoha pulang ke Madura, saat itu beliau berusia 22 tahun. Maka Syekh Kholil menikahkan Kiai Thoha dengan Nyai Khotimah yang masih berusia 8 tahun. Namun Kiai Thoha dan Nyai Khotimah tidak langsung dipertemukan, melainkan Kiai Thoha berangkat lagi ke Makkah untuk melanjutkan pendidikan hingga tujuh tahun lamanya. Ada yang mengatakan hingga sembilan tahun.

Setelah Kiai Thoha pulang, beliau telah menjadi seorang ulama muda yang mumpuni dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Maka Syekh Kholilpun menyerahkan Pesantren Jangkibuan pada Kiai Thoha, sementara Syekh Kholil sendiri pindah dan mendirikan pesantren di Demangan.

Dalam buku "Surat Kepada Anjing Hitam”, Saifur Rahcman menulis: "Dari Pesantren Demangan inilah Kiai Kholil bertolak menyebarkan agama Islam di Madura hingga Jawa. Kiai Kholil mula-mula membina agama Islam di sekitar Bangkalan. Baru setelah dirasa cukup baik, mulailah merambah ke pelosok-pelosok jauh, hingga menjangkau ke seluruh Madura secara merata.

Pulau Jawa yang merupakan pulau terdekat dengan pulau Madura menjadi sasaran da’wah Kiai Kholil. Jawa yang telah dirintis oleh pendahulunya yaitu Sunan Giri, dilanjutkan oleh Kiai Kholil dengan metode da’wah yang sistematis. Tidak jarang Kiai Kholil dalam da’wahnya terjun langsung ke masyarakat lapisan terbawah di pedesaan Jawa. Saat ini masih nyata bekas peninggalan da’wah Kiai Kholil baik berupa naskah-naskah, kitab Al-Qur’an, maupun monument atau tugu yang pernah dibangunnya. Sebuah tugu penunjuk arah kiblat dan tanda masuknya sholat lima waktu masih dapat dilihat sampai sekarang di Desa Pelalangan, Bondowoso. Demikian juga beberapa kenangan berupa hadiah tasbih kepada salah satu masyarakat di daerah Bondowoso.

Masih banyak bekas jejak da’wah yang dapat kita temui sekarang, seperti musholla, sumur, sorban, tongkat Kiai Kholil
MURID-MURID SYEKH KHOLIL



"Hampir ulama besar di Madura dan Jawa adalah murid Kiai Kholil. Selain itu, murid Kiai Kholil rata-rata berumur panjang, banyak diatas 100 tahun. Berikut ini sebagian murid Kiai Kholil yang mudah dikenal saat ini :

1. KH. Hasyim Asy’ari : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang. Beliau juga dikenal sebagai pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) Bahkan beliau tercatat sebagai Pahlawan Nasional.

2. KHR. As’ad Syamsul Arifin : Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah, Sukorejo Asembagus, Situbondo. Pesantren ini sekarang memiliki belasan ribu orang santri.

3. KH. Wahab Hasbullah: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang. Pernah menjabat sebagai Rais Aam NU (1947 – 1971).

4. KH. Bisri Syamsuri: Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Denanyar, Jombang.

5. KH. Maksum : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Jawa Tengah

6. KH. Bisri Mustofa : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Rembang, Beliau juga dikenal sebagai mufassir Al Quran. Kitab tafsirnya dapat dibaca sampai sekarang, berjudul "Al-Ibriz” sebanyak 3 jilid tebal berhuruf jawa pegon.

7. KH. Muhammad Siddiq : Pendiri, Pengasuh Pesantren Siddiqiyah, Jember.

8. KH. Muhammad Hasan Genggong : Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan, Genggong. Pesantren ini memiliki ribuan santri dari seluruh penjuru Indonesia.

9. KH. Zaini Mun’im : Pendiri, Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Pesantren ini juga tergolong besar, memiliki ribuan santri dan sebuah Universitas yang cukup megah.

10. KH. Abdullah Mubarok : Pendiri, Pengasuh Pondok , kini dikenal juga menampung pengobatan para morphinis.

11. KH. Asy’ari : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Darut Tholabah, Wonosari Bondowoso.

12. KH. Abi Sujak : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep.

13. KH. Ali Wafa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Temporejo, Jember. Pesantren ini mempunyai ciri khas yang tersendiri, yaitu keahliannya tentang ilmu nahwu dan sharaf.

14. KH. Toha : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Bata-bata, Pamekasan.

15. KH. Mustofa : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Macan Putih, Blambangan

16. KH Usmuni : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Pandean Sumenep.

17. KH. Karimullah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Curah Damai, Bondowoso.

18. KH. Manaf Abdul Karim : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

19. KH. Munawwir : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta.

20. KH. Khozin : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Buduran, Sidoarjo.

21. KH. Nawawi : Pendiri, pengasuh pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan. Pesantren ini sangat berwibawa. Selain karena prinsip salaf tetap dipegang teguh, juga sangat hati-hati dalam menerima sumbangan. Sering kali menolak sumbangan kalau patut diduga terdapat subhat.

22. KH. Abdul Hadi : Lamongan.

23. KH. Zainudin : Nganjuk

24. KH. Maksum : Lasem

25. KH. Abdul Fatah : Pendiri, pengasuh Pondok Pesantren Al Fattah, Tulungagung

26. KH. Zainul Abidin : Kraksan Probolinggo.

27. KH. Munajad : Kertosono

28. KH. Romli Tamim : Rejoso jombang

29. KH. Muhammad Anwar : Pacul Bawang, Jombang

30. KH. Abdul Madjid : Bata-bata, Pamekasan, Madura

31. KH. Hasbullah Abubakar Tebul,Kwayar Bangkalan Madura (Makam Kramat Pantai Kedung Cowek Surabaya)

32. KH. Muhammad Thohir jamaluddin : Sumber Gayam, Madura.

33. KH. Zainur Rasyid : Kironggo, Bondowoso

34. KH. Hasan Mustofa : Garut Jawa Barat

35. KH. Raden Fakih Maskumambang : Gresik

36. Sayyid Ali Bafaqih : Pendiri, pengasuh Pesantren Loloan Barat, Negara, Bali

37. KH. Abdul Hamid bin Itsbat, banyuwangi


GENERASI KELUARGA

DAN PENERUS PERJUANGAN

SYEKH KHOLIL

STRI-ISTRI SYEKH KHOLIL

Ada sembilan wanita yang tercatat sebagai istri Syekh Kholil, beberapa diantara mereka beliau nikahi setelah beberapa istri sebelumnya meninggal dunia. Hal itu sangatlan wajar, karena Syekh Kholil itu berumur panjang, bahkan ada yang mengatakan bahwa beliau berumur lebih dari seratus tahun, maka beliaupun beberapa kali kedahuluan meninggal oleh istri dan beberapa kali menikah lagi. Itulah sebabnya Syekh Kholil memiliki istri yang banyak.

Mereka adalah:

Nyai Raden Ayu Assek binti Ludrapati.

Nyai Ummu Rahma.

Nyai Raden Ayu Arbi’ah.

Nyai Kuttab.

Nyai Raden Ayu Nur Jati.

Nyai Mesi.

Nyai Sailah.

Dari sembilan istri itu, hanya empat orang yang menurunkan keturunan Syekh Kholil. Mereka adalah: Nyai Assek, Nyai Ummu Rahmah, Nyai Arbi’ah dan Nyai Mesi.

PUTRA-PUTRI SYEKH KHOLIL

Dengan Nyai Assek:

Ahmad (Meninggal masih kecil).

Nyai Khotimah.

KH. M. Hasan.

Dengan Nyai Ummu Rahma:

Nyai Rahma.

Dengan Nyai Arbi’ah:

KH. Imron.

Dengan Nyai Mesi:
KH.Badawi.
Nyai Asma’.

Dari keenam putra-putri itu, hanya empat yang menurunkan keturunan sampai sekarang, yaitu selain KH. M. Hasan dan KH. Badawi.


1. NY. KHOTIMAH BINTI KHOLIL

Nyai Khotimah menikah dengan Kiai Muhammad Thoha (kiai Muntaha) bin Kiai Kaffal. Mereka masih sepupu, karena Kiai Muhammad Thoha adalah putra Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil). Kalau dari ayah, Kiai Muhammad Thoha pernah keponakan dua pupu kepada Nyai Khotimah.

Pasangan Nyai Khotimah dan Kiai Muhammad Thoha memiliki tiga orang putra, yaitu:

Kiai Ahmad.

Nyai Rahimah.

dan Kiai Abdul-Lathif.

Namun hanya Kiai Abdul Lathif yang memiliki keturunan.

Kiai Abdul Lathif memiliki putra tunggal bernama Kiai Kholili.

Kiai Kholili memiliki dua istri, yaitu Nyai Na’imah binti Imron bin Kholil dan Nyai Nafisah binti abdul Karim bin Munawwar bin Kaffal + Nyai Maryam (kakak Syekh Kholil).

a. Putra-putra KH. Kholili dengan Nyai Na’imah:

Kiai Ahmad Juwaini. Mendirikan "Pesantren Al-Bukhoriyah” di Jhembhuh, bangkalan.

Kiai Abdul Mu’thi. Mendirikan "Pesantren Sirojul Kholil” di kampung Dulkariman, Bangkalan.

Kiai Abdul Mughni. Mendirikan pesantren di Sukalela Lama, Bangkalan.

b. Putra-putri KH. Kholili dengan Nyai Nafisah:

Kiai Abdul Lathif. Mendirikan "Madrasah Al-Awwaliyah” di Pasar Kapoh, Bangkalan.

Kiai Abdul Kholiq. Mendirikan sebuah Madrasah di kampung Goa, Trahgeh, Bangkalan.

Nyai Khotimah (Kramat).

Nyai Rosyidah. Menikah dengan Kiai Hifni Thoha, Pesantren Al-Falah, Sumber Gayam, Pamekasan.

Kiai Abdul Hamid. Mengasuh Pesantren "Al-Muntaha Al-Kholili” Jangkibuan, pesantren pertama yang didirikan oleh Syekh Kholil.

Kiai Thoha.

Fatimah Az-Zahra’. Menikah dengan Kiai Abdul Malik Hasyim, Pesantren Al-Ishaqi II, Jhembhuh, Bangkalan.

Nyai Rohimah (Bondowoso).

Kiai Mujtaba.

Kiai Syamsuddin.
Kiai Muhammad Hasan
sumber:http://saepi.ucoz.com/blog/mengenal_syekh_kholil/2009-11-07-377